BARISAN Golkar bertambah lagi. Kali ini, sebuah koran pagi, Berita Nasional, Bernas, terbitan Yogyakarta menyatakan diri masuk Golkar. Kesepakatan karyawan Bernas itu, menurut Kusfandi, Pemimpin Umum Bernas, bukannya latah atau mendadak. Bernas, katanya lagi, telah berproses 6ak tahun 1980, dengan berita-berita yang condong ke Golkar. Hanya saja, pernyataan itu baru tepat dilakukan sekarang. Pernyataan itu dicetuskan dalam forum sarasehan bersama DPD Golkar DIY awal bulan ini. Selain karyawan Bernas, yang juga menyatakan diri masuk Golkar adalah karyawan percetakan, karyawan grup penerbitan yang tergabung dalam Bernas. Misalnya majalah Djaka Lodang dan majalah anak-anak Putera Kita. "Berita-berita Golkar jelas akan jadi prioritas," kata Kusfandi, bekas PNI tulen yang punya ide meng-Golkar-kan karyawan Bernas ini. Padahal, pada Pemilu 1971, Bernas merupakan media kampanye PNI. Pemilu berikutnya, tentu saja, halaman koran itu disediakan lebih banyak untuk porsi PDI. Begitu juga pada Pemilu 1982, porsi PDI tetap lebih besar. Masih tetap berkntor di Jalan Gondomanan, menyatu dengan kantor GMNI, Pemuda Marhaenis, dan GSNI, Bernas memang punya perjalanan panjang. Koran tua yang 15 November lalu ber-HUT ke-40 dengan tumpengan sederhana, ini didirikan oleh Mr. Sumanang, tokoh PNI dengan nama harian Nasional. Berdasarkan ketetapan pemerintah 1964, setiap koran harus berafiliasi dengan salah satu partai, segera koran ini memilih PNI. Karenanya, pernah berganti nama jadi Suluh Indonesia, Suluh Marhaen dan terakhir jadi Berita Nasional, hingga sekarang. "Kami sudah memperhitungkan risiko masuknya karyawan Bernas menjadi anggota Golkar ini," kata Kusfandi. Risiko itu, dia sebut, misalnya, beberapa pelanggannya bakal menarik diri. Dan ternyata terbukti. Tapi, Kusfandi juga punya gambaran cerah. Citra Bernas koran PDI bakal hapus. Artinya lagi, koran yang kini cuma beroplah 9.000 itu bakal diterima di desa-desa, juga di kalangan pegawai negeri. Tidak semua karyawan Bernas jadi Golkar, memang. Dari 23 wartawan, empat (termasuk Wakil Pemred) belum masuk Golkar. "Kalau teman-teman masuk Golkar, silakan. Itu hak asasi mereka," kata Wagiman Winartono, 53, wartawan yang sejak 1951 menekuni Bernas. Wartawan muda Nurhadi juga berucap senada, "Saya tak mau Ikut-ikutan. Di sini saya 'kan mau kerja. Kerja, ya, kerja saja." Walaupun begitu, berita orang Bernas masuk Golkar, toh, sempat memanaskan kuping Sutardjo Surjoguritno, Wakil Ketua DPD PDI Yogyakarta. Sutardjo, yang merasa telah membina koran itu sejak masih bernama Suluh Marhaen, ketika megap-megap dulu, mengatakan "Bagai disambar petir di siang bolong." Ia menganggap tindakan itu tak bijaksana. "Mereka membawa koran itu ke luar aris." katanya lebih lanjut. Masih bernada dongkol, Sutardjo mengungkit-ungkit kantor Bernas yang menempati bekas kantor DPD PNI di Jalan Gondomanan itu. "Kalau mereka konsekuen, 'kan harusnya mereka pindah," kata Sutardjo yang juga Wakil Ketua DPRD DIY itu. Kusfandi tidak kalah menangkis, "Lho, 'kan yang bayar sewa Bernas." Presiden Komisaris PT Bernas, Soedarisman Poerwokoesoemo, agak lebih dingin menanggapi. Masuk Golkar boleh-boleh saja, asal tidak mengubah haluan Bernas katanya. "Kalau mereka mengubah haluan, akan ramai," ujar Soedarisman yang bekas wali kota dan juga orang PNI ini. Akan hal orang Bernas masuk Golkar, "Mungkin untuk cari selamat. Supaya tidak dituduh PKI. Tapi, mudah-mudahan tidak demikian," ujar orang tua ini. Terakhir, memang ada tuduhan koran itu kemasukan bekas anggota partai terlarang, PKI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini