Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Diperlukan komisi antikebocoran

Kebocoran anggaran pembangunan diperkirakan lebih dari 30%. penyebabnya: korupsi dan rekayasa kebocoran dengan cara menaikkan anggaran proyek. sudah waktunya DPR mengambil inisiatif membentuk komisi kebocoran anggaran

15 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA kongres XII ISEI di Surabaya, 23 November lalu, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo menyatakan bahwa kebocoran dana pembangunan mencapai 30%. Banyak perdebatan tentang berapakah tingkat kebocoran yang sesungguhnya. Banyak yang menduga, dalam prakteknya, tingkat kebocoran jauh lebih tinggi. Tentu, sebelum ada penelitian yang komprehensif sukar untuk mengungkapkan tingkat kebocoran yang sesungguhnya. Sudah waktunya, jika DPR mengambil inisiatif untuk membentuk komisi kebocoran anggaran yang mempunyai investigative power untuk meneliti tingkat kebocoran yang sesungguhnya, dan mengkaji cara-cara penanggulangan yang preventif sifatnya. Secara umum kebocoran yang terjadi dapat kita klasifikasikan menjadi dua. Pertama, korupsi murni, yaitu kasus-kasus penyelewengan penggunaan anggaran. Kedua, rekayasa pembocoran. Ini mencakup kasus-kasus mark up dan multiplicity (pengulangan) penggunaan berbagai mata anggaran untuk tujuan proyek yang sama. Dalam kategori ini termasuk juga penggunaan uang negara untuk mendirikan berbagai yayasan swasta, atau lembaga swadaya masyarakat pelat merah. Dalam hal ini, pejabat merangkap sebagai pendiri atau pengurus yayasan dan menerima honorarium dari uang negara. Korupsi murni telah jauh berkurang terutama sebagai hasil peningkatan audit yang telah dilakukan. Tapi rekayasa kebocoran kemungkinan besar meningkat karena sangat sulit dideteksi jika hanya menggunakan mekanisme audit akunting. Untuk mengetahui rekayasa kebocoran, pengawasan tidak boleh sekadar audit akunting, juga harus mencakup audit terhadap efektivitas, performance atau kualitas proyek dibandingkan dengan seluruh pengeluaran. Salah satu modus rekayasa pembocoran yang sering terjadi dalam proyek-proyek pembangunan adalah melalui cara mark up, yaitu menaikkan nilai proyek di atas nilai sebenarnya. Oknum birokrasi melakukannya untuk mendapatkan komisi seperti dalam kasus Kartika Thahir pada saat pembangunan Krakatau Steel. Jika pengawasan hanya dilakukan dengan cara audit pengeluaran, semua bukti pengeluaran memang akan diperoleh, tetapi angka di situ belum tentu menunjukkan pengeluaran sebenarnya. Kbiasaan mark up tersebut juga merugikan negara karena negara kehilangan potensi pajak pendapatan maupun pajak nilai tambah karena payback period proyek menjadi lebih lama. Untuk memberantas kebiasaan mark up tersebut, penawaran dan pelaksanaan proyek harus betul-betul kompetitif dan transparan. Salah satu dampak strategis dari struktur anggaran yang berlaku saat ini adalah kerancuan fungsi anggaran, antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Selama ini Pemerintah selalu mencoba menekan pengeluaran rutin seminimal mungkin sehingga tersedia sisa anggaran untuk tujuan pembangunan. Tapi dalam prakteknya, sangat sering terjadi pekerjaan rutin dengan sengaja "diproyekkan" sebagai proyek pembangunan. Kerancuan fungsi dalam pelaksanaan anggaran rutin dan anggaran pembangunan tersebut mempunyai dampak negatif karena merusak kultur dan sistem kerja birokrasi. Jika diteliti lebih lanjut, bisa jadi struktur anggaran seperti itu sangat tidak efisien dan tidak efektif. Diperlukan reformasi struktur anggaran yang berlaku saat ini: kenaikan sedikit anggaran rutin dan penghapusan proyek-proyek "fiktif" pembangunan bisa jadi akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran. Dalam beberapa tahun terakhir ini Pemerintah melakukan kampanye dan pelaksanaan konsep pengawasan melekat, populer disebut waskat. Pengawasan melekat ini merupakan model pengawasan yang cenderung neofeodalistis. Karenanya sangat tidak efektif sebagai sarana pengawasan. Model pengawasan melekat terlalu mengandalkan peranan pimpinan, sedangkan dalam banyak kasus korupsi unsur pimpinan banyak juga yang terlibat. Sulit dibayangkan yang dipimpin mengawasi pemimpin dalam tatanan masyarakat yang masih neofeodalistis. Pengawasan hanya efektif jika merupakan kombinasi antara pengawasan internal dan eksternal. Uang anggaran adalah uang pajak rakyat. Karena itu, proses pembahasan dan audit anggaran harus transparan sehingga pengawasan bisa dilakukan juga oleh rakyat dan pers seperti halnya di negara maju. Untuk mengurangi kebocoran dan meningkatkan efisiensi, hasil audit BPKP seharusnya diberikan kepada DPR, dan terbuka untuk masyarakat umum. Jika transparansi itu tidak ada, upaya penghematan masih tetap akan sulit dilaksanakan karena informasi hanya disediakan secara selektif oleh eksekutif. Dari segi politik kenegaraan menjadi pertanyaan besar: apakah DPR hasil Pemilu 1992 bisa "mengimbangi" peranan eksekutif dalam kebijaksanaan anggaran. Ataukah DPR hasil Pemilu 1992 akan sama nasib dan prestasinya dengan DPR-DPR selama PJPT I: belum pernah berhasil mengubah RAPBN yang diajukan, baik dari segi jumlah maupun alokasi biarpun hanya Rp 1 juta? Pembahasan RAPBN oleh kalangan DPR sudah cenderung klise: terlalu global dan gelondongan. Tapi yang lebih penting: hasil-hasil dari pembahasan tersebut tidak pernah tercermin dalam perubahan jumlah maupun alokasi sektoral RAPBN. Apakah tradisi tersebut akan berlanjut dalam DPR hasil Pemilu 1992? Rakyat menunggu apakah ada kemajuan dalam tradisi demokrasi kita, minimal dalam soal anggaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus