Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menangkap sinyal RAPBN 1994-1995

RAPBN 1994-1995 tak perlu diragukan lagi. sebab kestabilan makroekonomi tetap mendapat prioritas. pemerintah melakukan pendekatan kebijaksanaan makro yang konservatif, sebab khawatir inflasi terus berlangsung.

15 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERING dalam mempelajari angka-angka RAPBN secara rinci kita melupakan gambaran atau garis besar yang lebih penting. Yakni, apa pesan atau sinyal arah kebijaksanaan pemerintah yang dapat kita peroleh dari sebuah RAPBN. Berbagai pihak menganggap pertanyaan tersebut sangat penting untuk RAPBN 1994-1995 dibandingkan dengan RAPBN sebelumnya. Sebab, RAPBN 1994-1995 adalah anggaran pertama dari Kabinet Pembangunan VI, hingga muncul pertanyaan: apakah akan ada perubahan arah kebijaksanaan ekonomi Indonesia? Disinyalir, keraguan mengenai hal tersebut telah mempengaruhi rencana investasi para investor swasta. Sebenarnya, sinyal RAPBN 1994-1995 cukup jelas. Pertama, kestabilan makroekonomi tetap mendapat prioritas tinggi. Pertumbuhan anggaran secara nominal adalah 11,9%, yang secara nyata, setelah dikurangi inflasi, merupakan pertumbuhan sekitar 6% yang sangat konservatif. Ukuran lain yang penting adalah dampak domestik anggaran. Ini bisa dihitung secara kasar dari berapa besar uang yang dibelanjakan secara domestik oleh pemerintah dikurangi yang disedot keluar dari perekonomian domestik melalui pajak dan instrumen lain (penerimaan nonmigas). Hitungan tersebut memberi angka yang negatif atau, dalam arti lain, suatu kontraksi. Kebijaksanaan fiskal yang konservatif searah dengan kebijaksanaan moneter yang tetap hati-hati -- walau kebijaksanaan uang ketat telah dilonggarkan dibanding yang dialami tahun 1991. Misalnya, setelah terjadi penurunan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam periode April-Agustus, tingkat bunga SBI mulai sedikit meningkat belakangan ini. Dasar pendekatan kebijaksanaan makro yang konservatif adalah kekhawatiran pemerintah bahwa inflasi tetap berlangsung tahun ini. Kekhawatiran tersebut juga tergambar dari pendekatan mengenai kebijaksanaan nilai tukar rupiah. Kebijaksanaan nilai tukar rupiah hanya dapat digunakan untuk mencapai satu tujuan, dan sejak tahun 1987 pemerintah telah menjalankan pendekatan depresiasi sekitar 4-5% untuk membantu ekspor. Namun, pada tahun 1993, walaupun inflasi Indonesia relatif lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya dan dari negara-negara lain, depresiasi rupiah terhadap dolar di bawah 3%, bahkan rupiah sempat mengalami apresiasi terhadap beberapa mata uang. Pendekatan tersebut sebenarnya sesuai dengan cadangan devisa yang meningkat. Dan itu sesuai dengan perilaku pasar, dan tampaknya menggambarkan pengalihan penggunaan kebijaksanaan nilai tukar dari ekspor nonmigas pada kestabilan likuiditas dalam negeri, yang tentunya berkaitan dengan upaya mengontrol inflasi. Namun, pendekatan tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan ekspor nonmigas. Pendekatan fiskal yang konservatif yang dapat disinyalir dari RAPBN 1994-1995 juga sangat masuk akal, mengingat dana yang terbatas, terutama karena melemahnya harga minyak. Sinyal yang lebih penting lagi adalah adanya perubahan komposisi pengeluaran pemerintah, yang dengan sendirinya menggambarkan prioritas pemerintah. Peningkatan pengeluaran pembangunan dapat dikatakan rendah, yaitu 8,6%. Tapi yang penting disimak adalah perubahan komposisi pengeluaran pembangunan. Secara menyeluruh, peningkatan pengeluaran yang langsung atau berkaitan dengan produksi, misalnya pada sektor industri, jauh lebih rendah daripada peningkatan pengeluaran yang sifatnya tidak langsung tapi menunjang tujuan pembangunan. Juga hal itu dianggap patut dilakukan oleh karena beberapa alasan, seperti hal itu berskala besar, dinikmati oleh masyarakat luas (public good), dan memiliki aspek kesejahteraan sosial. Misalnya, pengeluaran untuk prasarana meningkat lebih tinggi daripada peningkatan pengeluaran pembangunan secara menyeluruh. Itu mempunyai dampak langsung peningkatan pekerja yang dikerahkan dan bahan-bahan yang digunakan. Tapi dampak yang lebih penting adalah dampak tidak langsung, yakni peningkatan itu menunjang sektor swasta yang dianggap akan memainkan peran yang jauh lebih besar sesuai dengan proses dan arah deregulasi. Tujuan pembangunan lain yang mengalami perubahan penting dalam RAPBN 1994-1995 adalah desentralisasi dan pemerataan. Desentralisasi, ditinjau dari keuangan negara dalam keadaan terbatas, dapat meringankan beban pembiayaan pusat, meningkatkan kapasitas daerah untuk membiayai pembangunan daerah dan untuk memperkuat kapabilitas dan prasarana institusional di daerah. Memperkuat kapasitas pemerintah daerah, terutama daerah tingkat II, penting. Itu mengingat perlunya mengalihkan investasi dari daerah-daerah yang sudah jenuh, memeratakan pertumbuhan dan pembangunan daerah, terutama di Indonesia Bagian Timur. Sebab, penanggulangan kemiskinan dan pemerataan, termasuk pembangunan daerah, merupakan kunci bagi stabilitas sosial yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Ini memberikan sinyal positif bahwa pemerintah sangat menyadari prioritas yang perlu dijalankan dalam keadaan dana yang terbatas. Ini sinyal yang sangat penting. Patut juga disadari bahwa dana yang tersedia tak mungkin cukup untuk mengatasi segala persoalan yang muncul dalam mencapai tujuan pembangunan yang diprioritaskan. Ada dua makna yang timbul dari observasi tersebut. Pertama, penggunaan dana harus efisien. Kedua, mengurangi kemungkinan penggunaan dana yang terbatas ini untuk "proyek" yang gagal atau salah. Maka, selain mempertajam prioritas, pemerintah juga harus mempertajam target dari kebijaksanaannya. Pekerjaan rumah yang harus dijalankan pemerintah untuk dapat mempertajam policy target sangat penting, agar penggunaan dana yang terbatas efektif, dan upaya mengatasi permasalahan dimulai sedini mungkin. Untuk itu, ada tiga aspek penting yang harus diperhatikan. Pertama, kejelasan definisi target. Misalnya, apa arti kemiskinan? Apakah yang akan dibantu desa miskin atau orang miskin? Kedua, memisahkan target yang dapat diatasi oleh pemerintah dan yang dapat dijalankan oleh swasta. Contohnya, pembagian tugas yang tepat antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan prasarana: apakah pembagian tersebut akan berbeda menurut provinsi? Ketiga, mencari instrumen atau kebijaksanaan yang paling tepat atau paling langsung untuk mencapai target yang diinginkan tanpa menimbulkan dampak sampingan yang negatif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus