Saya merasa tergugah dan gembira setelah membaca berita berjudul "Tampillah, wahai Figur" (TEMPO, 12 November 1988, Nasional). Di situ dijelaskan bahwa sejumlah mahasiswa UGM menyampaikan beberapa tuntutan sekitar kehidupan kampus ke gedung DPRD Yogyakarta. Sementara itu, di kampus ITB, 17 wakil mahasiswa berdialog dengan Menteri P dan K Fuad Hassan, tentang masalah serupa. Topik yang dilemparkan para mahasiswa dari dua kampus terkenal itu cukup menarik, yakni berkaitan dengan otonomi universitas, yang dirasakan terganggu oleh konsep NKK/BKK. Tegasnya, mereka menuntut pencabutan konsep NKK/BKK itu. Menurut saya, NKK/BKK tetap bisa diberlakukan. Tetapi penerapannya di lapangan perlu koreksi dan revisi, sehingga bersifat fleksibel. Itu berarti, dalam penerapannya, bukan cara-cara dikte yang ditempuh. Tetapi kepada pihak universitas diberikan wewenang untuk mengatur pelaksanaan NKK/BKK sesuai dengan kondisi kampus masing-masing. Dengan demikian, pihak universitas bisa mengatur pelaksanaan NKK/BKK secara matang dan terarah guna mengembangkan kreativitas, daya nalar, dan kepekaan sosial sesuai dengan Tridarma Perguruan Tinggi. Pemerintah -- Departemen P dan K hendaknya, mengawasi pelaksanaan NKK/BKK itu cukup dari jauh. Pemerintah baru turun tangan atau memberikan teguran terhadap yang bersangkutan bila ternyata dalam pelaksanaan terjadi penyimpangan. Saya berpendapat seperti di atas karena fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa destruktif yang melibatkan gerakan mahasiswa pada 1974 dan 1978 terjadi akibat adanya kebebasan akademis yang tak terbatas. Peristiwa itu jelas terasa mengganggu proses belajar dan mengajar di perguruan tinggi. Dengan konsep NKK/BKK yang direvisi atau dikoreksi itu secara proporsional mahasiswa dapat melakukan dialog, diskusi, seminar, dan lain-lain kegiatan sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajari dan kenyataan yang berlangsung di masyarakat. Sehingga, terjadi keterbukaan dan komunikasi efektif dan terarah antara mahasiswa dan universitas. Itu dapat menumbuhkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial dalam mencari pemecahan atas masalah yang terjadi. Juga, tercipta harmonisasi antara teori dan praktek (realitas) di masyarakat. Sehingga, dalam kehidupan kampus dan para mahasiswa tak terdapat stagnasi atau kejemuan. Meskipun kebebasan dan otonomi seperti saya kemukakan telah diperoleh universitas atau para mahasiswa, hendaknya masalah-masalah peka yang dibicarakan di kampus tak perlu disebarluaskan ke masyarakat awam di luar kampus. Ini untuk menghindari terjadinya keresahan di masyarakat. Masalah-masalah itu cukup didiskusikan dan dicarikan solusinya di kampus. Hasilnya selanjutnya bisa disumbangkan kepada pemerintah. Singkatnya, alternatif terbaik, menurut saya, memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada setiap universitas dalam melaksanakan konsep NKK/BKK yang telah direvisi atau dikoreksi, bukan dengan -- mencabut NKK/BKK. Dengan alternatif itu, saya yakin, kehidupan kampus akan kembali bersemarak dan bergairah dalam mengamalkan Tridarma Perguruan Tinggi. ABDULLAH ASSEGAF Petukangan Utara Kebayoran Lama Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini