Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANGKAPAN Basuki Hariman oleh Komisi Pemberantasan Korupsi semakin menegaskan mafia daging masih berkeliaran di negeri ini. Pebisnis daging itu diduga menyuap hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, agar undang-undang yang mengatur impor daging berbasis zona dianulir.
Permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan memang tak lepas dari kepentingan bisnis. Sejak pemerintah memberlakukan impor berbasis zona, ceruk usaha segelintir importir yang selama ini menguasai pasokan daging Australia dan Selandia Baru terganggu. Regulasi tersebut membuka peluang impor dari negara yang belum sepenuhnya bebas dari penyakit mulut dan kuku-asalkan daging tidak berasal dari zona atau provinsi yang terjangkit penyakit.
Kebijakan impor berbasis zona sebenarnya sudah tepat. Ketentuan ini membuka pintu bagi lebih banyak negara pilihan impor. Sumber kebutuhan daging nasional pun tak bergantung pada satu-dua negara.
Beragam pilihan tadi pada akhirnya bisa menekan harga di tingkat konsumen. Syaratnya, tidak boleh ada lagi bagi-bagi kuota. Pelaksanaan impor berbasis zona tetap harus melalui tender terbuka dengan memberikan kesempatan yang sama kepada semua pelaku usaha. Sebaliknya, bagi-bagi kuota impor hanya akan menambah pundi pemburu rente yang punya akses terhadap informasi dan kekuasaan. Pada akhirnya konsumen menjadi korban.
Kekhawatiran konsumen dan peternak lokal terhadap wabah dari negara yang belum sepenuhnya bebas penyakit merupakan hal lumrah. Tapi kecemasan itu bukan alasan mempersempit pilihan ekspor. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia bahkan mendukung impor daging India, Brasil, dan Argentina karena tidak semua wilayah di negara tersebut terinfeksi penyakit. Wabah kuku dan mulut bisa diantisipasi dengan pengawasan ketat. Tugas Komisi Ahli Kesehatan Hewan memastikan daging beku India dalam keadaan steril.
Sebaliknya membatasi impor daging dari negara tertentu jelas tindakan keliru. Kebijakan itu justru membuat harga dan pasokan daging disetir segelintir pengusaha. Tak mengherankan bila harga daging di Indonesia lebih mahal daripada di negeri tetangga. Di tengah situasi itu, para penyelundup kerap mendatangkan daging ilegal, yang harganya lebih murah.
Untuk memenuhi kebutuhan nasional, pemerintah tak perlu alergi melakukan impor. Dua tahun lalu, kebutuhan daging nasional mencapai 653.980 ton. Daging impor memasok sekitar 36 persen permintaan. Kebutuhan nasional ini setiap tahun naik rata-rata 10 persen. Peternak lokal tak mampu menyuplai seluruh permintaan karena sapi milik peternak rakyat yang mencapai 10 juta ekor atau setara dengan 1,7 juta ton daging tidak bisa dipotong setiap saat.
Mengembangkan peternakan sapi berskala besar juga bukan perkara mudah. Proses penggemukan sapi membutuhkan padang rumput luas serta air yang banyak. Daerah yang bisa diandalkan salah satunya Nusa Tenggara Timur. Namun, dengan kondisi kepulauan, ongkos pokok produksi daging sapi di Indonesia menjadi mahal, menembus Rp 100 ribu per kilogram.
Meski harga produksi tinggi, peternak sapi lokal tak perlu khawatir tergerus daging impor India. Peternak lokal tetap punya pasar karena konsumen menengah atas cenderung mencari daging berkualitas tinggi-seperti halnya mereka mencari ayam kampung. Dengan tersedianya beragam pilihan, konsumen bisa memperoleh aneka daging dengan kualitas dan harga kompetitif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo