Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH harus menuntaskan penyelesaian kasus PT Asuransi Jiwasraya baik dari sisi hukum maupun penyelamatan perusahaan negara tersebut. Untuk dua perkara itu, peran Badan Pemeriksa Keuangan sangat penting: menghitung kerugian negara, menunjuk siapa saja yang diduga terlibat, dan hasil auditnya akan menjadi acuan penyelamatan Jiwasraya. Jika dua hal yang pertama tidak sesuai dengan kenyataan, upaya penyelamatan bisa gagal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses penyelesaian kasus Jiwasraya tidak bisa dilihat sepotong demi sepotong. Penggarongan Jiwasraya merentang jauh ke masa lalu, bukan hanya menyangkut soal dana JS Saving Plan, produk investasi berbalut asuransi yang memiliki tunggakan klaim Rp 12,4 triliun. Kasus ini bisa dilacak hingga periode 2004-2006 ketika Jiwasraya secara serampangan membeli repo saham Grup Bakrie senilai Rp 3 triliun tanpa didahului analisis investasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam proses audit investigasi Jiwasraya, pemeriksa BPK menemukan transaksi repo saham tersebut. Saat itu, Bakrie menggadaikan sahamnya kepada Jiwasraya untuk memperoleh dana segar. Awalnya Jiwasraya hanya mengempit saham Bakrie & Brothers pada 2006. Belakangan, Jiwasraya juga tercatat mengoleksi saham anak usaha Grup Bakrie lainnya, seperti Bakrie Development, Darma Henwa, Bumi Resources, Bakrie Telecom, dan Capitalinc Investment.
Celakanya, pada saat jatuh tempo, kelompok usaha Bakrie tidak menebus saham yang mereka gadaikan. Masalah muncul ketika kinerja semua saham yang digadaikan bertumbangan pada saat bersamaan. Jiwasraya terpaksa mengoleksi saham gorengan tersebut. Baru belakangan investasi dalam bentuk repo saham itu dibungkus dalam produk reksa dana penyertaan terbatas.
Sayangnya, informasi yang diterima Tempo memperlihatkan ada indikasi bahwa pimpinan BPK terbelah dalam proses audit. Ada petinggi BPK yang menginginkan kasus investasi di anak-anak usaha milik keluarga Bakrie dimasukkan sebagai obyek investigasi. Sebaliknya, dua petinggi BPK yang lain justru meminta periode audit dibatasi hanya pada 2016-2019. Artinya, kejadian sebelum masa itu diabaikan.
Hal itu mengingatkan kita pada hasil pemeriksaan investigatif kasus korupsi Hambalang tahap II pada Agustus 2013. Ketika itu, ada dua versi hasil audit. Versi pertama menunjukkan ada 15 nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga terlibat. Tapi, pada versi yang dilaporkan ke DPR, nama-nama tersebut raib. Dua lembaga negara itu kompak menyatakan bahwa hanya ada satu versi, yakni versi tanpa nama. Belakangan, dalam dakwaan atas Andi Zulkarnain Mallarangeng di sidang korupsi Hambalang pada April 2017, muncul dua nama anggota DPR yang juga pernah disebut dalam hasil audit BPK 2013.
Audit Jiwasraya tak boleh mengulang kejadian konyol tersebut. BPK harus mengaudit Jiwasraya secara tuntas agar hasilnya bisa digunakan Kejaksaan Agung untuk mengungkap semua pelaku dan bisa digunakan pemerintah dalam proses penyelamatan Jiwasraya. Tanpa itu, akan ada penggarong yang lolos, kerugian negara tak kembali, dan pemerintah terpaksa melakukan bailout menggunakan uang negara.
Kita perlu mengingat kasus Bank Century. Proses audit yang cacat dan penyelamatan oleh Bank Indonesia yang tidak tuntas mengharuskan pemerintah melakukan bailout terhadap Bank Century dengan dana Rp 7,9 triliun. Bank Mutiara (nama baru Century) akhirnya dijual rugi pada harga Rp 4,45 triliun. Bukan tidak mungkin hal yang sama terjadi pada Jiwasraya.
Jika proses di Kejaksaan Agung dan BPK tidak transparan dan tak memuaskan, ada jalan terakhir, yakni Dewan Perwakilan Rakyat perlu membentuk panitia khusus hak angket untuk mengawal proses hukum skandal ini. Memang, mengingat kejadian di masa lalu, pembentukan panitia angket bukanlah jaminan atau solusi ideal untuk menyelesaikan prahara Jiwasraya. Di tengah tarik-menarik antarpartai, kehadiran panitia khusus hak angket juga bisa tergelincir ke dalam proses transaksional.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo