Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo lebih baik segera menghentikan program lumbung pangan atau food estate yang berantakan sejak tahap perencanaan. Alih-alih mendapatkan hasil maksimal untuk mencapai swasembada pangan, program ini terbukti bermasalah di sejumlah daerah. Melanjutkan program ini hanya akan menambah kerugian negara dan kerusakan lingkungan yang sulit diperbaiki.
Penelusuran Tempo menunjukkan compang-camping proyek food estate yang dimulai pada pertengahan 2020 dengan biaya hingga Rp 1,2 triliun itu. Di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, misalnya, tempat penampungan air yang dibangun pada 2021 terlihat kering dan tak ada aliran air ke lahan pertanian. Tanpa irigasi, bagaimana panen bisa tercipta? Sebagian besar petani, yang harus mengambil air lebih dari satu kilometer jauhnya, akhirnya memilih menanam kol dan jagung.
Temuan tersebut selaras dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada semester kedua tahun lalu. BPK menemukan kondisi serupa di proyek food estate di Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Di Kalimantan Tengah, infrastruktur pengelolaan air juga tak berfungsi. Lahan bekas pengembangan gambut pada era Presiden Soeharto itu pun terendam air sehingga tak bisa dimanfaatkan.
Sejak awal, gembar-gembor pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan tak disertai dengan perencanaan yang baik dan menabrak sejumlah aturan. Di kawasan Gunung Mas, Kalimantan Tengah, ratusan hektare hutan ditebang empat bulan sebelum Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang menjadi syarat perizinan, terbit. Warga setempat tak pernah diajak berdiskusi soal rencana proyek ini. Mereka pun tersudut ketika tentara dikerahkan untuk membabat hutan yang menjadi tempat tinggalnya.
Bahkan food estate lebih terkesan menjadi bancakan tokoh-tokoh dan partai politik. Setidaknya ada dua perusahaan, yaitu PT Agro Industri Nasional alias Agrinas dan M-Tani, yang terafiliasi dengan pejabat dan partai. Agrinas dimiliki oleh Yayasan Pengembangan Potensi Sumber Daya Pertahanan, dibentuk Kementerian Pertahanan yang dipimpin oleh Prabowo Subianto. Sedangkan M-Tani dimiliki oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Hingga sekarang, tak jelas betul hasil yang dicapai dua perusahaan itu.
Buruknya perencanaan dan pelaksanaan proyek, seperti bisa ditebak, berujung pada minimnya produktivitas lumbung pangan. Di Humbang Hasundutan, produktivitas bawang merah hanya 5,18 ton per hektare, jauh di bawah capaian nasional sebesar 9,71 ton per hektare. Bahkan budi daya kentang hanya menghasilkan 8,3 ton per hektare, tak sampai separuh dari produktivitas nasional sebanyak 19,55 ton per hektare.
Rendahnya produktivitas itu tak sebanding dengan dampak buruk yang dihasilkan proyek food estate. Pembabatan hutan alam seluas 600 hektare di kawasan Gunung Mas telah memicu pelepasan sedikitnya 250 ribu ton emisi karbon. Hilangnya wilayah tangkapan air juga membuat desa-desa di sekitarnya terendam air di musim hujan. Belum lagi tergusurnya habitat orang utan.
Presiden Jokowi nyata-nyata telah jatuh ke lubang yang sama dengan para pendahulunya. Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate malah gagal dan memiskinkan petani. Begitu pula dengan Presiden Soeharto yang berimajinasi mengubah lahan gambut di Kalimantan menjadi sawah.
Ketimbang menambah besar kerugian akibat proyek lumbung pangan atau food estate, Jokowi—lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada—lebih baik segera menyadari kegagalannya dan menghentikan proyek fantasi ini. Presiden perlu belajar dari kesalahannya selama ini, bahwa proyek ambisius yang tak realistis hanya akan menciptakan kerugian bagi banyak orang dan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo