Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANJIR di Jakarta dan sekitarnya pada hari-hari pertama 2020 seharusnya menjadi pelajaran untuk semua pihak: persoalan kronis ini tak bisa diselesaikan dengan saling tuding di depan umum. Pemerintah pusat dan daerah semestinya bekerja sama, bukan saling menyalahkan. Saling sindir antara Presiden Joko Widodo, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak bakal mencegah air bah datang lagi.
Gagalnya program pengendalian banjir di Ibu Kota pekan lalu menandakan buruknya manajemen semua lapis pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Padahal ini bukan bencana mendadak yang pertama kali terjadi. Semua orang tahu Jakarta dan daerah penyangganya, yakni Tangerang, Depok, dan Bekasi, adalah kawasan langganan banjir. Selain kontur tanahnya berupa cekungan, ada belasan sungai yang mengalirkan air dari hulu di daerah Bogor lewat Jakarta sebelum sampai ke Laut Jawa. Hanya keledai yang tak pernah belajar dari kesalahan sebelumnya.
Apalagi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika sebenarnya sudah mengirimkan peringatan tentang bencana ini, akhir tahun lalu. Pada 27 Desember 2019, BMKG merilis kabar bahwa bakal ada sejumlah provinsi yang diguyur hujan deras dengan angin kencang pada pergantian tahun, termasuk DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Tapi peringatan ini tak ditindaklanjuti.
Kajian tentang pengendalian banjir juga sudah banyak dibuat, tapi eksekusinya tak pernah tuntas. Pejabat publik kita lebih suka berdebat soal istilah semacam “naturalisasi versus normalisasi” dan angkat tangan ketika ditanyai kenapa proyek normalisasi Sungai Ciliwung yang baru setengah jalan kini terkatung-katung. Proyek pelebaran sungai itu baru tuntas sepanjang 16 kilometer dari rencana awal 30 kilometer. Kalau motifnya sudah politis, memang sulit berpikir solutif.
Kalau mau jujur, tak rampungnya proyek Ciliwung bukan cuma karena masalah pembebasan lahan. Demikian juga soal tersendatnya upaya memperbaiki daerah aliran sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Payung hukum bisa dibuat, regulasi pun bisa diubah—jika hambatannya ada di aturan. Masalahnya adalah koordinasi pemerintah pusat dan daerah yang tak jalan. Bagaimanapun, gubernur adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat. Jika program nasional tak diindahkan kepala daerah, tentu ada banyak cara untuk memaksanya berjalan.
Tak hanya di Jakarta, penataan kawasan Puncak dan pembangunan sejumlah situ di Jawa Barat menghadapi masalah serupa. Dua bendungan yang diharapkan selesai akhir tahun ini, Bendung Ciawi dan Sukamahi, tak akan mampu mengatasi masalah jika hutan di sekitarnya terus dibabat. Perubahan peruntukan kawasan Puncak, dari semula untuk resapan air menjadi daerah wisata dan permukiman, hanya bisa terjadi ketika aparatur pemerintahan tidak berjalan efektif. Kelalaian menahun itu juga luput dari koreksi pemerintah pusat.
Dengan bencana banjir yang rutin terjadi setiap tahun, Jakarta seharusnya menjadi laboratorium antisipasi banjir terlengkap di dunia. Berbagai inovasi kebijakan publik dan infrastruktur bisa diuji coba dan dipantau efektivitasnya. Para pejabat publik perlu membuat terobosan yang bisa melampaui sekat-sekat kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Sayangnya, itu tak terjadi karena kita lebih sibuk mencari kambing hitam setiap kali banjir datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo