Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Tabir Dalang Penyerang Novel

Penangkapan dua tersangka penyerangan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, belum sepenuhnya memberikan titik terang. Kejanggalan proses penangkapan bisa menjadi kabut baru.

4 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERASA menghina akal sehat jika publik diharapkan percaya begitu saja terhadap pengakuan dua tersangka penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, yang pekan lalu ditahan polisi. Di hadapan puluhan wartawan, salah satu tersangka, Brigadir Rahmat Kadir Mahulette, mengaku tak suka kepada Novel karena penyidik antikorupsi itu dinilai telah berkhianat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengakuan itu mengindikasikan upaya Rahmat dan rekannya, Brigadir Ronny Bugis, membatasi kasus ini sebagai perkara penyerangan bermotif dendam pribadi. Padahal temuan tim gabungan pencari fakta yang dibentuk Kepala Kepolisian RI (ketika itu) Jenderal Tito Karnavian jelas menunjukkan keterkaitan penyiraman air keras yang membutakan sebelah mata Novel itu dengan sejumlah kasus korupsi kakap yang dia tangani.

Penahanan Ronny Bugis dan Rahmat Mahulette, dua polisi aktif dari kesatuan Brigade Mobil Polri, meski sudah amat terlambat, memang bisa disebut langkah maju dalam penyidikan kasus penyerangan Novel. Namun Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih punya pekerjaan rumah untuk menjelaskan beberapa kejanggalan dalam proses penetapan Ronny dan Rahmat sebagai tersangka.

Misalnya soal kronologi penyidikan. Pada 23 Desember 2019, polisi merilis surat pemberitahuan dimulainya penyidikan yang isinya menyatakan pelaku penyerangan Novel belum diketahui. Tiga hari kemudian, tiba-tiba beredar kabar bahwa pelakunya sudah ditangkap.

Kejanggalan lain adalah perbedaan wajah dua pelaku yang dirilis kepolisian dengan sketsa wajah yang disampaikan Tito Karnavian dan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya (ketika itu) Inspektur Jenderal Idham Azis pada akhir 2017. Sketsa wajah yang diedarkan polisi waktu itu berbeda dengan keterangan sejumlah saksi yang sempat melihat wajah pelaku.

Rekam jejak Ronny dan Rahmat di Brimob juga sama sekali tak pernah bersentuhan dengan KPK ataupun kerja-kerja Novel sebagai penyidik. Lazimnya, motif dendam hanya mungkin terjadi bila pelaku dan korban sudah saling mengenal dan kepentingan pelaku secara langsung terganggu oleh tindakan korban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalahnya: apa bisa Komjen Sigit Prabowo menunaikan harapan publik dan membongkar berbagai kejanggalan itu? Skeptisisme khalayak ramai bukan tanpa alasan. KPK dan kepolisian selama ini kerap berkonflik. Pimpinan kedua institusi penegak hukum itu bahkan pernah saling menyandera dengan penetapan status tersangka. Konflik ini kerap disebut cicak versus buaya.

Ketegangan kronis itu hampir semua bermula dari upaya KPK menyidik kasus korupsi di lingkungan polisi, dari dugaan suap kepada Kepala Badan Reserse Kriminal (ketika itu) Komjen Susno Duadji sampai korupsi simulator yang melibatkan Kepala Korps Lalu Lintas (ketika itu) Irjen Djoko Susilo. Terungkapnya peran Ronny dan Rahmat, yang notabene polisi aktif, sebagai pelaku lapangan dalam penyerangan Novel menambah panjang riwayat konflik antara KPK dan kepolisian.

Terlebih, ada dugaan, penyerangan Novel tak bisa dilepaskan dari upaya KPK menelusuri kasus dugaan suap kepada sejumlah perwira polisi yang tercatat dalam buku merah. Buku merah ini catatan keuangan internal Basuki Hariman, terpidana suap hakim Mahkamah Konstitusi, yang juga pengusaha impor sapi.

Meski spekulatif, dugaan ini tak bisa dikesampingkan begitu saja, seperti dugaan keterkaitan penyerangan Novel dengan penyidikan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik, suap Mahkamah Agung, dan sederet kasus penting lain di KPK. Karena itulah sulit mengharapkan polisi mampu bekerja profesional dalam mengungkap kasus penyerangan Novel ini. Ada terlalu banyak konflik kepentingan di dalam tubuh kepolisian sendiri.

Sebagai solusi, Presiden Joko Widodo bisa membentuk mekanisme tambahan untuk membantu pengungkapan kasus ini secara menyeluruh. Mekanisme itu bisa berupa pembentukan tim independen yang bertugas mengawasi kerja penyidikan polisi dalam kasus ini.

Terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kecakapan serta pengalaman penegakan hukum dan yang terpenting dipercaya publik, tim itu bisa membantu polisi mengungkap tabir di balik kasus penyerangan Novel, bahkan mengungkap siapa dalang sesungguhnya.

Investigasi yang tuntas atas kasus ini akan menjadi titik balik yang krusial bagi rekam jejak Presiden Jokowi, yang selama ini kurang cemerlang dalam memberantas korupsi. Ia bisa menyerahkan semuanya kepada polisi dan menafikan segala kritik publik, atau memperkuatnya dengan sebuah tim independen. Pilihan ada di tangan Jokowi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus