Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Nepotisme Jokowi, Nepotisme Polisi

Calon taruna Akademi Kepolisian dari Nusa Tenggara Timur melanggar ketentuan penerimaan siswa baru. Efek Jokowi.

20 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLISI kita makin betah dan terang-terangan melanggar aturan. Setelah Inspektur Jenderal Ferdy Sambo dengan enteng menembak hingga mati ajudannya dan Inspektur Jenderal Teddy Minahasa menjual barang bukti narkoba, kini Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur Inspektur Jenderal Daniel Tahi Monang Silitonga memasukkan anaknya ke Akademi Kepolisian meski tak memenuhi syarat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Timothy Abishai Silitonga diterima sebagai calon taruna Akademi Kepolisian dari NTT tahun ini. Panitia seleksi meloloskan namanya meski tak sesuai dengan syarat penerimaan siswa baru. Daniel Silitonga baru menjabat Kepala Polda NTT pada 7 Desember 2023, sementara pendaftaran calon taruna polisi ditutup pada 21 April 2024. Artinya, Timothy belum cukup syarat mendaftar ke Akademi Kepolisian di daerah tempat ayahnya bekerja karena aturan untuk anak-anak polisi bisa mendaftar jika masa kerja ayah-ibu mereka di daerah tersebut minimal enam bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan hanya Daniel, tujuh calon taruna Akademi Kepolisian dari NTT lain juga anak para pejabat Kepolisian RI. Bahkan hanya satu calon taruna warga asli NTT. Padahal Markas Besar Polri menetapkan kuota calon taruna untuk setiap daerah. Tahun ini kuota NTT sebanyak 11 kursi dari total 195 kursi siswa Akademi Kepolisian secara nasional tahun ajaran 2024.

Ombudsman NTT, yang menerima dan memeriksa laporan dugaan kecurangan penerimaan calon taruna Akademi Kepolisian ini, menyimpulkan penerimaan siswa tersinyalir maladministrasi dan mengandung konflik kepentingan. Ombudsman sudah melaporkan pelanggaran itu ke Mabes Polri. Namun para pejabat Mabes Polri menyanggah jika disebut ada manipulasi penerimaan siswa Akademi Kepolisian.

Kecurangan dan pelanggaran aturan penerimaan siswa Akademi Kepolisian ini terus berulang dari tahun ke tahun. Pada 2017, orang tua siswa yang gagal masuk Akpol dari Sumatera Barat memprotes masuknya anak para pejabat polisi dari daerah itu. Padahal peringkat anak-anak pejabat tersebut jauh lebih rendah dibanding siswa yang tak lolos. Di Jawa Barat, seleksi masuk Akpol malah diwarnai pungutan liar.

Pelanggaran-pelanggaran aturan itu menodai konsep “Betah”—bersih, transparan, akuntabel, dan humanis—yang menjadi slogan rekrutmen calon taruna polisi sejak era Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian pada 2018. Dalam praktiknya, para jenderal dan petinggi polisi melanggar konsep Betah itu.

Jika pelanggaran aturan penerimaan siswa Akademi Kepolisian dari NTT akan diusut, sasarannya bukan hanya para jenderal orang tua siswa, melainkan juga panitia dan para perekrut yang berasal dari luar institusi kepolisian. Untuk menunjukkan gimik “Betah”, Mabes Polri merekrut para perekrut calon taruna dari kalangan jurnalis, dokter, psikolog, hingga pihak dinas pendidikan, dinas kependudukan, dan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi.

Mengakali aturan untuk diterima menjadi siswa Akademi Kepolisian membahayakan karena para siswa itu akan imun terhadap pelanggaran. Mereka akan menganggap nepotisme dan melanggar aturan main sebagai hal yang biasa. Watak ini akan terbawa hingga mereka kelak bekerja sehingga menjauhkan cita-cita kita memiliki penegak hukum yang profesional, bersih, berwatak sipil, melindungi, dan mengayomi masyarakat.

Namun apa yang dilakukan para jenderal dan pejabat Polri adalah tiruan terhadap apa yang dilakukan bos mereka. Presiden Joko Widodo memakai segala cara untuk meloloskan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden. Dari mengubah aturan main pemilihan umum, mengerahkan aparatur negara, hingga memakai anggaran bantuan sosial demi mengantarkan anaknya menjadi wakil presiden.

Jokowi kini bahkan bersiap memakai segala cara menyokong anak bungsunya, Kaesang Pangarep, dan menantunya, Bobby Nasution, menjadi kepala daerah. Efek Jokowi kini melanda para jenderal polisi ketika memasukkan anak-anak mereka ke Akademi Kepolisian. Ikan busuk memang dimulai dari kepalanya.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus