Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang ayah ingin menyaksikan hukuman mati itu dijalankan. Ia ingin melihat seorang pembunuh yang buas dihabisi: di Algiers, menjelang 1914, satu keluarga petani, termasuk anak-anaknya, dibantai seorang buruh ladang yang juga merampok harta si korban.
Ayah itu pun bangun pagi-pagi dan berangkat menuju tempat eksekusi yang terletak di ujung kota. Kerumunan besar sudah menunggu di sana: orang-orang yang ingin menonton bagaimana guillotine memotong kepala sang penjahat. Tapi ketika ayah itu kemudian kembali ke rumah, tak seorang pun tahu apa yang dirasakannya.
Anaknya kemudian menulis: "Apa yang disaksikannya pagi itu tak pernah dikatakannya kepada siapapun. Ibu hanya bercerita, ayah pulang cepat-cepat, wajahnya mengeriput, tak mau bicara, berbaring sejenak di ambin, dan tiba-tiba muntah-muntah".
Anak itu, Albert Camus, kemudian jadi penganjur yang meyakinkan agar hukuman mati dihapuskan. Kenangannya tentang kejadian itu, yang terjadi sebelum ia lahir, ditulisnya dalam Réflexions sur la guillotine, satu esei yang paling banyak dikutip kaum abolisionis. Novelnya yang kemudian terkenal, l'Étranger, menggambarkan Meursault yang dihukum mati karena membunuh seorang Arab dengan tanpa berpikir panjang. Dalam selnya, ia teringat apa yang dikatakan ibunya: "Emak dulu sering mengatakan kita selalu dapat menjumpai sesuatu yang bisa membuat kita bahagia. Di penjara, ketika langit jadi merah dan siang menyelinap ke dalam selku, aku sadar, emak benar."
Hidup begitu berharga di tiap detik, hukuman mati memotongnya. Tapi adakah Meursault berpikir demikian tentang orang Arab yang ditembaknya di tengah piknik di pantai itu? Dalam novel ini kita tak menemukan seorang yang hampir muntah-muntah menyaksikan orang lain dibunuh. Meursault tampak jauh dari seorang korban yang datang dari asal usul yang berbeda -- dan dengan kematian yang berbeda.
Di sini, ada sikap yang mendua. Kekejaman terhadap Meursault seperti tak terkait dengan kekejaman kepada si orang Arab. Dari segi ini, sikap anti hukuman mati Camus tak tampak memikirkan kematian yang lain.
Mungkin ia harus berpindah latar, di mana kematian bukan seperti di Algiers. Di Algiers, di mana Meursault-nya dibesarkan, tampaknya kematian adalah kesunyian masing-masing. Algiers adalah salah satu "kota tanpa sejarah" -- dan sejarah bisa berupa eksekusi dalam skala besar, seperti yang membekas di jalan, taman, dan gedung-gedung Paris. Di kota itu Camus melihat: Prancis modern membuat sejarah dengan eksekusi yang bertubi-tubi.
Revolusi Prancis tak hanya ditandai pemenggalan kepala Raja dan Ratu. Revolusi ini membawa cita-cita yang agung dan kebencian yang eksplosif. Kemerdekaan, kesama-rataan, dan persaudaraan antar manusia begitu berharga hingga Gereja, aristokrasi, burjuasi, orang kaya, harus ditiadakan.
Musim panas 1793, ketika perlawanan terhadap Revolusi meledak di Vendée, dari Paris Komite Keamanan Publik mengirim Jean-Baptise Carrier untuk memadamkannya seraya menjaga kota Nantes. Maka ia perintahkan para hakim agar membersihkan kota dari siapa saja yang dicurigai -- bangsawan, pastur, saudagar dan pejabat. Mereka ini harus "ditiadakan dalam waktu dua jam", titahnya.
Penjara-penjara Nantes penuh sesak. Para tahanan kekurangan makanan. Mereka pun dinaikkan ke perahu dan rakit ke Sungai Loire. Dalam empat bulan ada 4000 orang disingkirkan. "Kita akan jadikan Prancis kuburan", kata Carrier, seorang Pol Pot abad ke-18, "daripada kita tak bisa melahirkannya kembali dengan cara kita."
Awal Desember, kota Lyons dapat giliran. Hari itu 60 orang dibariskan ke sebuah lapangan di seberang Sungai Rhones, diposisikan di antara dua parit perlindungan, dan dikuburkan dengan serangkaian tembakan. Esoknya 209 tahanan dieksekusi. Dan tak berhenti hari itu. Seorang penulis sejarah mencatat: mayat-mayat terhukum yang membusuk mulai meracuni udara kota. Di musim panas 1794, ada yang menghitung 40.000 orang ditembak atau dipancung di seluruh Prancis, demi "keamanan publik" Demi kelahiran masyarakat yang baru. Demi Prancis yang bersih.
Saya kira itu sebabnya Camus menampik Revolusi dan memilih jadi seorang abolisionis yang menentang hukuman mati.
Tapi baru pada 1981, setelah ia meninggal, hampir dua abad setelah kebuasan Revolusinya, Prancis menghapuskan hukuman mati. Begitu lama orang memperbaiki peradaban. Dan belum bisa ditentukan sudah lahirkah sebuah Prancis baru tanpa kekerasan sejak kaum abolisionis menang. Tak ada kepastian.
Mendengar hukuman mati dijatuhkan kepadanya, Meurseault menolak "kepastian yang brutal" yang ditentukan atas dirinya -- brutal dan absolut, karena tak bisa digugat dan dikoreksi.
Tapi "kepastian yang brutal" juga tak bisa diberlakukan ketika hukuman mati tak dipergunakan. Pada 2003, di wilayah Colorado, AS, Edward Montour dipenjarakan karena dianggap membunuh bayinya yang baru berumur 11 minggu. Di penjara, ia habisi nyawa seorang penjaga. Ia dikutip Rocky Mountain News 13 Februari 2003: "Pengadilan tak tahu benar betapa aku tak menghargai jiwa manusia...Jelas aku akan membunuh lagi jika aku dapat kesempatan...Negara dapat membunuhku, aku tak peduli."
Apa yang harus dilakukan kepada orang macam ini?
Memang, pada akhirnya, 2014, satu dasawarsa kemudian, mahkamah agung negara bagian Colorado memutuskan tak jadi menghukumnya mati. Ia dipenjarakan seumur hidup. Montour menunjukkan rasa sesal, dan menghargai bahwa ayah-ibu korbannya memaafkannya. Tapi seorang hakim tak bisa melupakan bahwa orang ini telah membunuh orang lain dengan darah dingin -- dan tak ada jaminan tak akan ada lagi pembunuhan...
Saya menentang hukuman mati, dan itu saya nyatakan dengan mudah. Tapi saya tahu tak mudah memberi jaminan dengan menetapkan hidup dan mati di jaman seperti ini.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo