Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA eksekusi mati terhadap terpidana narkotik sekadar bertujuan memanen sensasi dan popularitas, pemerintah telah mendapat hasil gilang-gemilang. Tapi "keuntungan" yang dipetik dari politik murahan ini membawa mudarat besar: Presiden Joko Widodo telah mengubah Indonesia menjadi bangsa yang sadistis.
Lihatlah reaksi dunia atas kebijakan itu. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon bahkan menyindir, hukuman mati seharusnya tak mendapat tempat pada abad ke-21. Reaksi keras juga diperlihatkan negara tetangga, Australia, dengan menarik duta besarnya dari Jakarta. Australia amat terpukul karena dua warganya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, termasuk dalam delapan terpidana narkotik yang ditembak mati di Nusakambangan pekan lalu.
Terpidana lain yang bernasib sama adalah Rodrigo Gularte (Brasil), Zainal Abidin (Indonesia), serta empat warga Nigeria, yaitu Martin Anderson, Raheem Agbaje, Sylvester Obiekwe Nwaolise, dan Okwudili Oyatanze. Eksekusi ini merupakan yang kedua, setelah pada Januari lalu Kejaksaan Agung menembak mati enam terpidana narkotik, yang terdiri atas lima warga negara asing dan satu warga negara Indonesia. Satu terpidana mati, Mary Jane, lolos dari eksekusi kali ini setelah Presiden Filipina meminta penundaan. Alasannya, Jane masih diperlukan sebagai saksi pengungkapan kasus penyelundupan manusia.
Berkali-kali Presiden Jokowi berdalih, hukuman mati diperlukan karena kerusakan besar bangsa ini gara-gara narkotik. Setiap hari 50 orang meninggal akibat barang haram itu. Dengan kata lain, pemerintah Jokowi berprinsip, menembak mati beberapa penyelundup narkotik bisa dibenarkan demi menyelamatkan 18 ribu korban narkotik dalam setahun. Jokowi memetik popularitas politik di dalam negeri lantaran prinsip itu disokong hampir semua partai politik dan organisasi penting.
Pemikiran itu sepintas masuk akal, tapi sebetulnya lemah. Argumen itu mengabaikan alternatif yang jauh lebih baik: menyelamatkan ribuan korban narkotik tapi juga tetap menghargai nyawa penjahat. Bandar dan penyelundup narkotik bisa dihukum seumur hidup dan dimiskinkan. Seluruh harta yang diperkirakan diperoleh dari kejahatan itu disita negara. Duit hasil penyitaan itu bisa digunakan untuk operasi pemberantasan narkotik dan kampanye besar-besaran antinarkotik.
Kebijakan eksekusi mati juga janggal. Bila tujuannya memberi terapi kejut, seharusnya yang jadi prioritas adalah bandar besar narkotik, bukannya kaki tangan seperti Mary Jane, Andrew Chan, dan Myuran Sukumaran. Contohnya, bandar narkotik yang amat berbahaya adalah Freddy Budiman, yang divonis mati pada 2013 karena memproduksi 1,4 juta pil ekstasi. Hingga sekarang, Freddy yang mampu mengendalikan bisnis narkotik dari penjara itu belum dieksekusi. Aneh pula dia bisa mengecat rambutnya jadi merah, sesuatu yang sebetulnya tidak boleh dilakukan narapidana karena bisa dikategorikan sebagai usaha penyamaran.
Pemerintah semestinya konsisten. Kendati hukum positif masih memuat hukuman mati, Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pasal 28-A Undang-Undang Dasar 1945 jelas menyatakan: setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hak hidup juga dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik.
Kovenan internasional itu memang tidak melarang penuh hukuman mati bagi negara yang meratifikasinya, termasuk Indonesia. Hanya, vonis mati harus dijatuhkan oleh pengadilan yang benar-benar kompeten dan kredibel. Dalam konteks ini, pengadilan kita jauh dari standar itu. Banyak bandar narkotik yang semestinya divonis mati justru dihukum ringan dan, sebaliknya, orang yang menjadi kurir sering dikorbankan.
Pemerintah Jokowi seharusnya mempertimbangkan reaksi dunia dan citra Indonesia yang semakin buruk karena dianggap sebagai bangsa yang kurang beradab. Ketika banyak negara cenderung menghapuskan hukuman mati lantaran tidak efektif mengurangi kejahatan keji, Indonesia justru memamerkan eksekusi secara bergelombang. Dan kini masih ada sekitar 50 terpidana mati yang menunggu giliran.
Presiden Jokowi perlu melakukan moratorium eksekusi mati karena besarnya mudarat kebijakan ini. Apalagi belum ada bukti eksekusi mati yang dilakukan sejak Januari lalu telah membuat para bandar narkotik tiarap dan bertobat. Presiden Jokowi membuat negara ini mundur dalam menjunjung hak asasi manusia bila ia terus mempertontonkan kekejamannya menembak mati terpidana.
Alasan Jokowi bahwa "konsisten" mengeksekusi terpidana mati untuk menegakkan kedaulatan juga terkesan mengada-ada. Kedaulatan macam apa yang bisa ditegakkan dengan mencabut nyawa anak manusia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo