Muladi *)
*) Mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Juli 1993, saat mengikuti Kursus Singkat Angkatan III Lemhannas, saya mendapat bisikan dari Bambang Kesowo (Menteri Sekretaris Negara, saat itu menjabat Wakil Sekretaris Kabinet) bahwa saya akan ditunjuk oleh presiden sebagai salah satu anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang akan dibentuk.
Hal itu menjadi kenyataan dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993. Di era Orde Baru, yang executive heavy dan penuh dengan nuansa pendekatan keamanan, sambutan positif atas terbentuknya komisi ini mengisyaratkan bahwa masyarakat Indonesia saat itu sebenarnya merindukan promosi dan perlindungan hak asasi manusia yang indivisible. Pendekatan pembangunan ekonomi ternyata tidak cukup untuk menjadikan orang terlena, karena perlindungan hak sipil dan politiknya dirasakan banyak dilanggar oleh penguasa.
Rezim Orde Baru mestinya sangat sadar bahwa pembentukan komisi itu dapat menjadi bumerang karena promosi dan perlindungan hak asasi secara utuh (hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, budaya, dan hak untuk pembangunan) atas dasar prinsip-prinsip universal, indivisible and interdependent pasti tak dapat dihindarkan dan akan menghadapkan kekuasaan pada rakyat yang dilanggar hak asasinya.
Namun, prediksi positif ini mulai cenderung skeptis dan melemah mengingat landasan hukum pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) hanya berupa keputusan presiden, yang menjadikan komisi ini dicurigai sebagai alat penguasa dalam rangka "window dressing". Ketergantungan biaya operasional dari Sekretariat Negara melengkapi kecurigaan tersebut.
Ketua Komnas HAM waktu itu (Ali Said, almarhum) cepat menanggapinya dengan kebulatan tekad untuk berbuat yang terbaik dan perumusan rule of engagement yang mantap. Komisi ini menolak dilantik oleh presiden, bahkan silaturahmi dengan presiden sedapat mungkin dihindari. Dalam menjalankan tugasnya, para anggota Komnas HAM menolak pelbagai fasilitas—seperti bantuan transportasi dan penginapan—yang diberikan oleh pemerintah daerah ataupun si pelapor. Untuk menjaga independensinya, segala bantuan asing yang sekiranya mengandung ikatan ditolak dan segala putusan diambil melalui rapat paripurna.
Suasana kerja yang penuh idealisme dan personel-personel yang penuh integritas seperti Ali Said, Baharuddin Lopa, Miriam Budihardjo, Satjipto Rahardjo, Sri Sumantri, Baramuli, Bambang Suharto, Djoko Sugianto, Sugiri, Asmara Nababan, Aisyah Amini, dan lain-lain dengan kinerjanya yang superaktif ternyata cukup mendongkrak citra positif Komnas HAM. Semua merasa satu, tanpa membedakan apakah berasal dari birokrasi, LSM, akademisi, politisi, ABRI, atau dari sumber lain. Kepemimpinan yang kuat, etikal, dan berwibawa merupakan salah satu kunci keberhasilan.
Dinamika, romantika, keberhasilan, kegagalan, pujian, hujatan, adanya anggota yang meninggal dan ada pula yang baru masuk, itu semakin mendewasakan Komnas HAM, yang menjalankan tugasnya yang bersifat multidimensional (pengkajian, pendidikan, penyuluhan, pemantauan) sekalipun dalam suasana keterbatasan. Tidak ada wilayah di Tanah Air yang tidak dirambah oleh Komnas HAM karena adanya laporan pelanggaran hak asasi di wilayah itu. Kerja sama dengan pelbagai negara terus meningkat, termasuk kehadiran Komnas HAM di pelbagai seminar internasional, bahkan dalam forum PBB.
Salah satu kinerja yang dinilai positif oleh pelbagai pihak adalah meningkatnya kesadaran rakyat terhadap hak asasinya dan keberaniannya memperjuangkan pemenuhan hak-hak tersebut. Suasana kerja yang kondusif sangat menguntungkan, walaupun kasus yang masuk semakin meningkat (ribuan). Tampaknya komisi itu sangat populer sebagai salah satu mekanisme alternatif dalam penyelesaian sengketa, walaupun kewenangannya hanya sebatas mendamaikan dan sebagai mediasi dalam perkara perdata atau administrasi, serta memberikan rekomendasi kepada atasan bilamana perkara tersebut tak dapat di-selesaikan di lapangan. Dalam perkara pidana, rekomendasi tersebut bisa berupa permintaan agar ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan oleh instansi yang berwenang.
Dengan semangat reformasi yang mewarnai runtuhnya Orde Baru, yang pada hakikatnya merupakan usaha sistematis untuk menegakkan nilai-nilai dasar (core values) demokrasi—antara lain promosi dan perlindungan hak asasi—masyarakat menuntut kedudukan hukum yang lebih mantap dari Komnas HAM. Apalagi, dengan adanya Ketetapan MPR No. XVII/1998, perumusan hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia menjadi semakin jelas. Maka, kedudukan Komnas HAM pun semakin kukuh dengan adanya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 karena komisi ini dibekali dengan kekuasaan untuk penyelidikan dan pemeriksaan, pemanggilan pengadu, saksi, dan sebagainya (subpoena power). Atas dasar Undang-Undang No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, kekuasaan subpoena ini telah didemonstrasikan melalui pembentukan tim penyelidik ad hoc untuk menyelidiki kemungkinan pelanggaran hak asasi berat di Timor Timur pascajajak pendapat.
Sayang, reputasi Komnas HAM saat ini cenderung memudar. Penyebabnya, pertama, wewenang yang besar komisi ini tidak diimbangi oleh kualitas dan kuantitas sumber daya pendukung. Kedua, kegagalan stakeholders Komnas HAM mempertahankan core values komisi, yaitu semangat independensi. Independensi tidak hanya berarti bebas dari kooptasi kekuasaan, tetapi juga bebas dari semangat antiketerlibatan pemerintah dan segala hal yang berbau pegawai negeri serta TNI. Independensi harus diartikan tidak memihak, saling menghormati secara timbal balik dalam kerangka masyarakat madani. Ketiga, Komnas HAM kurang mengembangkan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, di samping fungsi pemantauan dan mediasi. Dan keempat, Komnas HAM terlalu terbawa semangat universalisme dan cenderung tidak berminat memperhatikan aspek-aspek partikularistik dalam pengembangan hubungan regional dan internasional.
Faktor-faktor pemudar itu haruslah diatasi. Di samping itu, salah satu hal yang dapat dilakukan Komnas HAM di masa datang adalah mendorong terlaksananya Rencana Aksi Nasional HAM, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Keppres No. 129 Tahun 1998. Dalam rangka ratifikasi instrumen internasional, komisi juga harus bertindak sebagai lembaga pemantau tindak lanjut ratifikasi.
Pada akhirnya, keberhasilan Komnas HAM dalam menjalankan misinya di masa depan akan bergantung pada empat faktor, yaitu kepemimpinan yang berwibawa, kehendak politik yang konsisten untuk melakukan promosi dan perlindungan hak asasi manusia, adanya strategi pelaksanaan tugas yang memadai, dan tekanan masyarakat yang jujur dalam semangat civil society.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini