Charles Himawan *)
*) Guru besar Fakultas Hukum UI
SENIN, 1 Oktober lalu, Mahkamah Agung RI memutuskan membebaskan Tommy Soeharto. Hari berikutnya, nilai rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) terguncang. Rupiah menembus Rp 10 ribu per dolar AS, dan IHSG turun 11,443 poin (2,9 persen) menjadi 377,232 dari level sehari sebelumnya. Kenyataan ini membuktikan bahwa hukum—apakah itu hukum pidana atau tata negara—mempunyai hubungan yang erat dengan kegiatan ekonomi.
Sah-tidaknya keputusan MA tentang pembebasan Tommy membutuhkan analisis tersendiri. Tulisan ini tidak akan menganalisis masalah tersebut, tetapi ingin menggarisbawahi agar pemerintah sungguh-sungguh memahami hubungan yang sangat erat antara keputusan badan peradilan dan kebijakan ekonomi pemerintah.
Salah satu kebijakan pemerintah adalah menggairahkan kegiatan ekonomi, dan ternyata kebijakan ini diguncang oleh sebuah keputusan badan peradilan (di bidang hukum pidana lagi!). Walaupun nilai rupiah dan IHSG hanya dua dari sekian indikator kegiatan ekonomi, ia cukup relevan untuk dipakai menunjukkan kinerja hukum dan ekonomi. Pada masa bulan madu antara pemerintahan Megawati dan pelaku ekonomi, nilai rupiah pernah mencapai Rp 8.200 per dolar AS dengan IHSG mencapai level 460,91. Dengan makin turunnya nilai tukar rupiah dalam dua bulan terakhir, itu berarti kinerja hukum dan ekonomi sangatlah mencemaskan.
Megawati sendiri sudah berkali-kali menekankan pentingnya penegakan hukum dalam konteks kebijakan umum pemerintahannya. Bahkan, saat menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Waseda yang kenamaan itu, Megawati, dalam pidatonya yang berjudul "Keadilan Sebagai Dasar untuk Membangun Dunia Baru", secara tidak langsung menunjukkan bahwa keadilan tidak mungkin dicapai hanya dalam "kotak hukum" yang kaku atau peraturan tertulis belaka. Megawati sebenarnya telah keluar dari pandangan hukum positif semata sebagaimana yang diperlihatkan oleh keputusan MA tersebut di atas. Megawati telah memasuki bidang filsafat hukum yang dapat melihat hukum dalam konteksnya dengan kekuatan-kekuatan lain yang ada di sekitar hukum positif itu.
Dengan kata lain, keadilan sebagai salah satu komponen kepatuhan hukum tidak mungkin dicapai hanya dari peraturan tertulis. Untuk mewujudkan kepatuhan hukum, orang perlu memperhitungkan (take into consideration) kekuatan di luar kekuatan peraturan tertulis. Dengan nilai kebudayaan Jawa yang tinggi, Megawati mengatakan, "Kepatuhan hukum akan jauh lebih mudah diwujudkan jika mereka yang sedang mempunyai kekuatan yang relatif lebih besar memberi contoh. Tidak jarang mereka yang memegang kekuasan menindas kelompok lain karena perbedaan kepentingan." (Kompas, 30-9-01)
Kalau kita menggunakan nilai kebudayaan AS yang katanya selalu mengemukakan sesuatu secara gamblang seperti dicerminkan oleh Presiden Bush baru-baru ini—yang mengatakan bahwa "orang yang tidak di pihak AS dalam memerangi terorisme adalah lawan AS"—pengamatan Megawati lebih-kurang mungkin dapat "diterjemahkan" sebagai berikut: kepatuhan hukum baru mungkin tercapai kalau para politisi yang memegang kekuatan politik, militer, dan polisi yang memegang kekuatan fisik, pejabat yang memegang kekuatan birokrasi dan eksekutif, hakim dan jaksa yang memegang kekuatan peradilan, aktivis yang memegang kekuatan sosial, dan pengusaha yang memegang kekuatan ekonomi-keuangan semuanya patuh pada hukum. Dan, kalau pada suatu saat kekuatan ekonomi-keuangan pengusaha relatif lebih besar dari kekuatan peradilan, janganlah kekuatan itu dipakai untuk menindas kekuatan peradilan demi kepentingan pengusaha.
Yang sering kali dilupakan adalah bahwa kekuatan sosial juga dapat mempengaruhi kepatuhan akan hukum, dan selanjutnya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dalam hubungan ini, Megawati telah memperingatkan kita semua untuk memperlakukan secara sopan tamu-tamu kita, dan untuk membayangkan bagaimana rasanya kalau kita berada di negara orang dan tidak diperlakukan sopan. Mungkin kita segera memutuskan tidak berkunjung lagi ke negara tersebut dan tidak ingin melakukan kegiatan ekonomi, misalnya menanamkan modal.
Dari kedua perumusan yang berbeda nilai itu, yaitu "ala Megawati" versus "ala Bush", yang jelas bagi kita adalah bahwa antara hukum dan ekonomi-keuangan terjalin hubungan yang erat. Megawati dan inner-circle-nya juga telah menyadari hal tersebut. Alangkah baiknya kalau pembantu-pembantu utama Megawati dalam bidang ekonomi dan hukum, misalnya Menko Polkam dan Menko Perekonomian, mengambil inisiatif untuk meyakinkan kelompok-kelompok kekuatan tersebut di atas, terutama kekuatan peradilan, bahwa tindakan mereka akan secara langsung membahayakan kegiatan ekonomi bangsa.
Dalam hal ini, pihak eksekutif tidak perlu cemas dengan adanya tuduhan bahwa mereka hendak menindas kekuatan peradilan (atau kekuatan legislatif) karena hubungan check-and-balance antara ketiga macam kekuatan negara yang banyak dipraktekkan oleh negara-negara modern tidaklah demikian sederhana seperti semula dicanangkan oleh Montesque (1689-1755). Tidak adanya kepatuhan hukum di Indonesia sudahlah sangat luar biasa parahnya sehingga perlu diadakan terobosan yang luar biasa pula. Terobosan tersebut adalah inisiatif dari pihak eksekutif untuk secara konsisten dan terus-menerus mengajak pihak legislatif dan yudikatif agar patuh pada hukum karena hal ini akan menjamin berhasilnya kepulihan perekonomian bangsa. Kekuatan-kekuatan yang langsung berada di bawah "payung" pihak eksekutif, seperti kekuatan militer, polisi, kejaksaan, dan pengusaha, dapat langsung ditangani sendiri.
Dari banyak polling yang dilakukan oleh berbagai media massa, terbukti bahwa rakyat menanti pulihnya perekonomian bangsa yang dilandaskan atas hukum. Rakyat menanti seorang idola di bidang hukum. Di bidang olahraga, rakyat telah mendapatkannya pada diri petenis Angelique Widjaja sehingga para penggemarnya meneriakan, "Angie, you are the angel!" Nah, di bidang hukum dan ekonomi, rakyat masih bermimpi untuk meneriakkan, "Supreme Court Justices, you are the angels!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini