Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALIH-alih menikmati obat murah di Indonesia—pasar obat terbesar di Asia Tenggara—banyak pasien justru menebus obat generik hingga puluhan kali lipat harga sebenarnya. Ihwal amat memprihatinkan ini muncul karena kongkalikong para dokter dan rumah sakit dengan perusahaan farmasi. Belum lagi potensi ancaman kesehatan pasien, karena dokter-dokter berani meresepkan obat dengan berkiblat pada "utang komisi" ke perusahaan farmasi.
Investigasi majalah Tempo membongkar keterlibatan 2.000 lebih dokter dan 151 rumah sakit di Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan dengan industri farmasi. Perusahaan yang diduga terlibat adalah PT Interbat di Sidoarjo. Segepok dokumen menunjukkan raksasa farmasi Indonesia di Jawa Timur itu diduga menghabiskan suap senilai Rp 131 miliar sepanjang 2013-2015 untuk para dokter dan rumah sakit.
Kolusi perusahaan farmasi-dokter-rumah sakit ini sudah lama tersiar. Yang jarang terdengar adalah dokter, apoteker, atau pengusaha farmasi diseret ke muka pengadilan karena perilaku tercela ini. Penyebabnya bisa dua: aparat hukum tak mampu melacak dan membuktikan praktek kerja ilegal itu hingga ke hulu atau—lebih celaka jika ini yang terjadi—saking kerapnya terjadi, aparat hukum menganggap ini perkara "biasa saja".
Perlu diingat, suap-menyuap di belahan dunia kedokteran-farmasi tak melulu soal fulus. Wujudnya beraneka, dari main golf, nonton Formula 1, tiket berlibur, mobil, rumah, hingga sekadar "gerojokan pulsa". Interbat membantah semua tudingan. Aparat hukum perlu menjawabnya dengan investigasi yang transparan, akuntabel, dan membela kepentingan publik, terutama orang-orang sakit.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan rinci mengatur larangan gratifikasi. Ada pula Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat menjerat pelaku gratifikasi. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun memperkuatnya dalam kode etik IDI yang tak membolehkan anggotanya menerima pemberian perusahaan farmasi. Sebaliknya, Ikatan Apoteker Indonesia melarang anggotanya memberikan apa pun kepada dokter.
Aturan yang ketat memang kian kita butuhkan. Bayangkan efek situasi ini: para dokter "wajib" meresepkan obat perusahaan farmasi penyuap senilai lima kali komisi yang mereka terima. Tak mengherankan, pemberian antibiotik, yang di Eropa amat hati-hati—tak sampai 12 persen—di sini bisa melambung ke 80 persen. Betapa rapuhnya perlindungan terhadap pasien tatkala ahli-ahli kesehatan meresepkan obat dengan berkiblat pada order pemberi komisi.
Betul bahwa hubungan dunia farmasi dan kedokteran mustahil dipisahkan dalam pelayanan kesehatan publik. Jalan keluar yang mungkin dapat ditawarkan adalah dukungan industri farmasi jangan ditujukan kepada dokter perorangan atau rumah sakit tertentu, melainkan kepada kegiatan profesi kedokteran.
Kode etik yang ada, jika masih bersifat parsial (atau kedokteran atau farmasi saja), sebaiknya disempurnakan secara lebih komprehensif—serta menjangkau ketiga latar profesi dan bisnis ini sekaligus: dokter, apoteker, dan industri farmasi. Dengan demikian, jika terjadi pelanggaran, tindakan penanganan bisa berlaku dari hulu sampai hilir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo