Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DRAF peraturan presiden tentang penambahan kewenangan Tentara Nasional Indonesia merupakan kemunduran yang berbahaya. Berkas yang digodok Kementerian Pertahanan dan Markas Besar TNI itu jelas sekali ingin mengembalikan TNI dalam penanganan ketertiban dan keamanan masyarakat-yang sekarang merupakan tugas kepolisian.
Bila gagasan ini tetap bergulir, itulah pengingkaran nyata terhadap reformasi. Sejak 1998, ketika era perubahan datang, dwifungsi TNI-peran tentara sebagai penjaga kedaulatan negara sekaligus pemegang kekuasaan mengatur negara-telah diakhiri. Pembagian tugas pun sudah diatur dengan terang. Tentara menangani ancaman atas kedaulatan negara, sedangkan polisi mengatasi kerusuhan dan kriminalitas dalam masyarakat sipil.
Sangat disesalkan, pasal-pasal dalam draf perluasan kewenangan TNI menyediakan dasar hukum bagi TNI untuk turun menghadapi ancaman nonmiliter. Misalnya operasi pembasmian penyelundupan dan pemberantasan narkotik. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyebutkan TNI merupakan alat pertahanan negara. Namun draf peraturan presiden, pasal 4, 5, dan 6, mengajukan perluasan peran: TNI bukan semata-mata alat pertahanan negara, melainkan juga alat keamanan negara.
Penambahan kata "keamanan" dalam draf itu kabur dan tak jelas pemaknaannya. Sangat mungkin penambahan itu memberikan legitimasi bagi TNI untuk tidak sekadar mengurusi masalah penyelundupan atau narkotik, tapi juga menangani demonstrasi mahasiswa, buruh, petani, dan lain-lain, seperti yang terjadi di masa lampau. Di masa Orde Baru, TNI ikut serta menangani kasus Waduk Kedung Ombo, terbunuhnya aktivis buruh Marsinah, sampai kasus tanah Badega, Garut, dengan pendekatan "popor senjata".
Perluasan peran tentara di luar kombatan justru merupakan kemunduran bagi TNI. Peran fungsional TNI sebagai alat pertahanan negara bisa-bisa lebih tercecer di belakang negara-negara tetangga. Kemahiran profesional tentara akan lebih tereduksi dengan "kesibukan baru" nanti.
Kementerian Pertahanan seharusnya memberi perhatian khusus pada peningkatan kualitas profesional prajurit kombatan berikut alat pertahanannya. Program "tiada hari tanpa latihan", seperti semboyan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu ketika menjabat Kepala Staf Angkatan Darat, semestinya menjadi prioritas. TNI bisa menggalang latihan bersama negara sahabat. Selain itu, tentara perlu mendalami "perang masa depan", yang tak lagi mengandalkan human based defence. Tugas terpenting TNI adalah memprioritaskan upaya ci vis pacem, para bellum-jika mendambakan perdamaian, bersiaplah menghadapi perang.
Prioritas meningkatkan profesionalitas prajurit itu jauh lebih baik ketimbang, misalnya, menjalankan program bela negara yang belum lama ini dilansir Kementerian Pertahanan. Selain mudah dibaca sebagai militerisasi sipil, program bela negara mempersempit ruang fiskal negara untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan program sosial lainnya.
Cukup mengherankan, gagasan-gagasan anakronistis itu bisa enteng saja dirumuskan di hadapan Presiden Joko Widodo. Secara hukum, rancangan peraturan presiden itu bermasalah lantaran bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002. Jokowi harus membatalkan rancangan peraturan presiden tentang penambahan kewenangan TNI ini. Indonesia tak boleh terlempar ke zaman tentara pretorian Romawi, 2.000 tahun lalu, ketika tentara menjadi alat pertahanan merangkap tugas polisi dan juga berpolitik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo