Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A. Tony Prasetiantono
Faktor Boediono (the Boediono Factor) ternyata benar-benar ampuh. Pasar merespons antusias kehadirannya kembali di kabinet. Rupiah terus menguat hingga bertengger di level Rp 9.800-an, dan indeks harga saham gabungan (IHSG) 1,150-an pada akhir pekan lalu (Koran Tempo, 9 Desember 2005). Bagaimana faktor Boediono bisa membangkitkan euforia seperti ini?
Inilah realitas pasar yang kadang-kadang sulit dipahami. Faktor sentimen pasar sering kali lebih dominan daripada kondisi obyektif. Sentimen pasar pada dasarnya dibangun berdasarkan fondasi ekspektasi-ekspektasi para pelaku pasar. Meski tim ekonomi baru-baru saja dilantik dan praktis belum sempat melakukan hal-hal yang konkret dalam menangani keadaan, pasar sudah merespons positif. Ini modal hebat yang mesti dijaga keberlanjutannya.
Ekspektasi terhadap Boediono merupakan suatu keniscayaan. Selain sudah membuktikan kecakapannya sebagai Menteri Keuangan di Kabinet Gotong-Royong, Boediono pun telah menjabarkan visinya tentang perekonomian Indonesia. Visi itu—sebut saja sebagai Boediononomics atau the economics of Boediono (Ekonomi Boediono)—bisa disimak pada makalahnya, The Indonesian Economy: Some Lessons from the Past, yang telah dipresentasikan di berbagai forum, di Yogyakarta (Dies Natalis ke-50 Fakultas Ekonomi UGM, 16 September), Canberra (konferensi Indonesia Update, Australian National University, 23 September), dan terakhir di Jakarta (Akademi Ilmu Pengetahuan, 3 Desember 2005).
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Boediono menyimpulkan lima pilar yang menjadi kunci keberhasilan kebijakan ekonomi. Pertama, perlunya harmonisasi antara sisi politik dan sisi ekonomi. Politisi sering kali mengambil manfaat jangka pendek dari kebijakan ekonomi, dan menunda ongkosnya di masa depan. Intervensi politik yang berlebihan juga akan menyebabkan distorsi dalam kebijakan ekonomi. Pesan utama dari isu ini adalah, dalam banyak hal, biarkanlah kebijakan ekonomi ditempuh atas dasar pertimbangan ekonomi-teknis yang profesional ketimbang mengikuti kemauan politisi dan kelompok kepentingan (pressure groups).
Kedua, adanya kebutuhan yang vital terhadap keberadaan tim ekonomi yang solid. Faktor kunci keberhasilan ekonomi di awal Orde Baru rezim Soeharto adalah keberadaan tim ekonomi yang kuat. Tim ekonomi menjadi efektif karena didukung oleh para profesional, dan dipimpin oleh sosok yang dihormati, Profesor Widjojo Nitisastro. Di era sekarang, privilese membentuk tim semacam itu sulit diperoleh karena setting politik yang sudah berubah. Tugas Presiden atau CEO (chief executive officer) dari negara inilah mencari keseimbangan antara upaya memaksimalkan efektivitas kebijakan ekonomi dan mengakomodasi realitas politik.
Ketiga, perlunya strategi ekonomi yang koheren dan kredibel. Strategi ekonomi biasanya mengandung pertimbangan-pertimbangan politis, namun sedapat mungkin tetap mengacu pada substansi teknokrasi yang solid. Strategi dasar yang perlu ditempuh di antaranya adalah kebijakan moneter dan fiskal yang hati-hati.
Keempat, stabilitas ekonomi dan anggaran pemerintah merupakan hal yang harus diupayakan. Ketidakstabilan ini diduga lebih banyak disebabkan oleh realitas di luar ekonomi. Ke depan, menempatkan stabilitas fiskal sebagai jangkar stabilitas ekonomi mensyaratkan lebih banyak hal lagi selain menyeimbangkan anggaran dan mengurangi rasio utang (debt ratio).
Kelima, jangan pernah (lagi) mengabaikan keberadaan kelembagaan dan tata kelola (governance) yang merupakan soft infrastructure. Kita telah beralih dari era otoritarianisme ke sistem demokrasi. Alam demokrasi menawarkan lingkungan yang lebih baik bagi keberadaan institusi dan perbaikan tata kelola. Lembaga penegakan hukum, sebagaimana juga lembaga-lembaga pelayanan publik lainnya, diharapkan berfungsi lebih efektif untuk menjamin perbaikan implementasi kebijakan.
Lima pilar tersebut sebenarnya memang bukan hal yang baru sama sekali, baik secara parsial maupun kolektif. Namun, ketika Boediono mengungkapkannya kembali pada momentum yang tepat, dampaknya pun menjadi signifikan. Kesadaran kolektif kita seperti dibangunkan kembali agar bisa mengimplementasikan kelimanya. Sayangnya, sebelum hal itu dilaksanakan, perombakan kabinet ekonomi yang terlalu mengakomodasi kepentingan politik malah sudah melanggar pilar ketiga dan kedua.
Beruntung, ”pelanggaran” ini masih bisa ditoleransi pasar. Namun, kita tidak boleh terus-menerus berharap pada datangnya keberuntungan belaka. Boediono memang pernah menyebutkan bahwa sebaik apa pun kebijakan ekonomi, ia memerlukan dukungan kehendak baik dan keberuntungan (good policy, good will, good luck).
Namun, toleransi pasar tetap ada batasnya. Karena itu, tidaklah berarti intervensi politik terhadap kebijakan ekonomi masih boleh diberi ruang seluas-luasnya di kemudian hari. Wanti-wanti ini perlu dilontarkan, jika kita mau memelihara keberlanjutan momentum ”euforia Boediono” yang sudah direbut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo