Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anies Baswedan
Spekulasi reshuffle telah berakhir. Presiden sudah mengambil keputusan dan para menterinya sekarang bisa bekerja dengan lebih tenang. Tetapi sejumlah pertanyaan masih tersisa dan perlu dijawab, mengapa reshuffle itu dilakukan? Apa implikasinya bagi konsolidasi sistem presidensial? Tulisan ini mencoba menjawabnya pertanyaan itu.
Agaknya, kita perlu melihat kembali pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu setahun yang lalu. Hari-hari menjelang 20 Oktober 2004, proses politik penyusunan kabinet berjalan alot. Penunjukan personalia kabinet diwarnai tarik-ulur. Dari proses ini terlihat bahwa komposisi kabinet lebih merupakan cermin equilibrium politik pada hari itu, bukannya merupakan refleksi dari agenda kebijakan dan janji politik yang dijabarkan Yudhoyono saat berkampanye.
Ini tidak keliru, hanya saja urutan prioritasnya yang terbalik. Presiden memang harus selalu memperhitungkan konstelasi politik, tetapi karena Indonesia sudah menganut sistem presidensial dan presiden sudah menyebar janji dan agenda kebijakan pada rakyat, maka pemilihan personalia kabinet seharusnya lebih mencerminkan orang-orang yang dianggap bisa menjalankan agenda kebijakan itu, bukan hanya mencerminkan equilibrium politik.
Keterbalikan itu bisa terjadi setidaknya karena tiga sebab: (1) sistem presidensial yang lebih murni diterapkan untuk pertama kalinya. Efeknya, ada semacam kegamangan untuk menegakkan sistem ini secara lugas dan konsisten yang dalam hal ini presiden punya mandat politik untuk menentukan kabinetnya, (2) partai-partai politik peserta pemilihan umum masih merasa memiliki hak untuk memasukkan kadernya ke dalam kabinet sebagaimana kabinet-kabinet sebelumnya tatkala presiden dipilih oleh partai politik melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat, (3) masih kuatnya kebiasaan ala Orde Baru, yaitu fokus pada personalia calon menteri, bukan pada aliran kebijakan (policy stream) yang akan dibawanya.
Di samping faktor politik dalam penyusunan kabinet, Presiden Yudhoyono juga membuka peluang dimungkinkannya publik dan politisi menuntut perombakan. Pada masa awal pemerintahannya, Presiden mengatakan bahwa para menteri akan dinilai kinerjanya setelah satu tahun: yang tidak perform akan diganti. Kebijakan ini memang tampak menarik karena menyebarkan aroma keterbukaan, transparansi, dan kesan diadopsinya teknik manajemen modern. Namun, dalam politik, tawaran semacam ini (1) membuka pintu bagi didesakkannya perubahan personalia kabinet tanpa mempedulikan kinerja sang menteri, dan (2) membuat proses perebutan kursi kekuasaan di kabinet sebagai sustainable competition.
Padahal, dalam konteks kebijakan publik, berhasil atau gagalnya paket kebijakan itu bisa disebabkan oleh banyak faktor dan belum tentu semata-mata karena kinerja figur menterinya. Dengan dibukanya peluang rekomposisi personalia kabinet ini, maka batas-batas yang dibangun untuk mengontrol perilaku politisi melalui institutional design itu jadi tak banyak gunanya.
Apalagi, ada kesan bahwa perombakan kali ini bukan semata-mata hasil evaluasi kinerja menteri-menteri, melainkan hasil evaluasi kinerja tim ekonomi. Apabila mengevaluasi kinerja setiap menteri, maka besar kemungkinan perubahan komposisi itu juga terjadi pada menteri-menteri di luar bidang ekonomi.
Apakah perombakan ini akan membuat kinerja Kabinet Indonesia Bersatu menjadi lebih baik dan bisa membuat fondasi sistem kepresidenan di Indonesia? Publik tentu berharap demikian. Permasalahan pertama adalah adanya keterbatasan kekuasaan menteri dalam mengubah arah mesin birokrasi. Pergantian personalia di tingkat puncak memang bisa memberikan image akan terjadinya perubahan haluan kebijakan.
Namun, dalam kenyataannya, seorang menteri itu masuk dalam mesin birokrasi yang berisi career bureaucrats yang sudah mapan dan bisa memiliki kepentingan yang berseberangan dengan kebijakan menteri. Di sini terlihat bahwa menteri memiliki keterbatasan dalam membawa political appointee untuk ditempatkan di bawahnya dan bertugas menerjemahkan aliran kebijakan yang akan diambil serta memiliki otoritas struktural di hadapan birokrasi.
Padahal dengan diadopsinya sistem presidensial dan demokrasi, presiden terpilih akan memasuki pemerintahan dengan membawa agenda kebijakan dan janji politik. Agenda dan janji itu harus diterjemahkan. Karenanya, presiden dan menteri perlu memiliki otoritas untuk menempatkan personalia yang bertugas menjalankan agenda dan janji pilihan rakyat agar bisa menjadi kebijakan pemerintah.
Tanpa kekuasaan untuk memasukkan personalia baru di tempat-tempat strategis dan struktural di tubuh birokrasi, maka perubahan menteri bisa sekadar kosmetik dan meaningless. Di sinilah pentingnya perombakan kemarin itu diiringi dengan reformasi administrasi pemerintahan. Dengan cara itu maka datangnya presiden baru maupun pergantian menteri bisa diiringi dengan pergantian kebijakan yang fundamental.
Presiden Yudhoyono perlu sadar bahwa ia sedang membangun fondasi dasar sebuah sistem presidensial di Indonesia. Sebagaimana presiden pertama Amerika Serikat, George Washington, yang mengatakan bahwa menjabat dua periode itu cukup karena dia sadar bahwa pilihannya akan dijadikan preseden untuk para presiden berikutnya. Begitu juga dengan Presiden Yudhoyono, ia perlu menyadari bahwa susunan kabinetnya dan perombakan kabinet yang dijalankannya bukan saja untuk menjawab tantangan jangka pendek dan kebijakan praktis, tetapi juga merupakan bagian dari tradisi baru dalam menjalankan pemerintahan presidensial di alam politik Indonesia yang demokratis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo