SAYA dengar film tersebut sedang dipertimbangkan untuk dapat
diputar di Indonesia. Sekalipun sensor telah dilakukan oleh
pihak KBRI di Den Haag, ketika 3 tahun yang lalu film itu
selesai diproses teknis di Negeri Belanda.
Film tersebut saya lihat waktu diputar di bioskop-bioskop di
Nederland. Dan memang film itu sctelah lolos dari sensor di KBRI
Den Haag telah diputar di hampir semua negara di Eropa Barat,
Amerika dan baru-baru ini, dengan memenangkan piagam, diputar
dalam film festival di Hongkong. Di hampir semua negara Eropa
dan di Amerika film itu dapat sambutan hangat dari para kritikus
dan suratsurat kabar New York Times memuat semua resensi yang
mengagumkan yang pernah diberikan di semua negara itu.
Sekalipun untuk membuat film itu (film itu merupakan
joint-investment-production antara Belanda dan Indonesia), telah
mendapat izin dari pemerintah RI namun rupanya masih diperlukan
scnsor lagi sebelum diputar di wilayah RI. Keterlambatan proses
sensor sekarang ini menurut pendengaran saya, karena timbul
penilaian berbeda-beda tentang cerita atau tema cerita/film
tersebut.
Ada yang mengatakan, dalam film itu pangreh praja Indonesia
(bupati dan demang Kabupaten Lebak) terlalu buruk digambarkan.
Ada juga yang berpendapat, perlawanan yang dilakukan sementara
rakyat Lebak kurang ditonjolkan. Ada juga yang berpendirian,
dalam film itu kekuasaan Belanda terlalu dibesarkan.
Menurut pendapat saya orang-orang yang melancarkan kritik
tersebut kurang mengerti tujuan cerita itu. Artinya kurang
memahami tema buku Max Havelaar. Buku Max Havelaar bukan untuk
menceritakan perjuangan (kemerdekaan) rakyat Indonesia, seperti
umpamanya perjuangan Diponegoro atau perang Aceh. Thema buku itu
adalah menggambarkan keburukan kolonialisme Hindia Belanda.
Menonjolkan seorang idealis (Asisten Residen Max Havelaar) yang
dengan sendirinya tidak berhasil melindungi rakyat di daerahnya
dari kekejaman sistim kolonial Kolonialisme mana pokok
kebijaksanaannya ditentukan di Negeri Belanda. Pelaksanaannya
diselenggarakan oleh korps bestuurs-ambtenaar (korps pangreh
praja) Belanda di Hindia Belanda dengan menggunakan pangreh
praja bumiputera.
Sikap rakyat yang digambarkan adalah sikap rakyat yang miskin
dan tertindas, putus harapan dan hidup dalam serba ketakutan.
Pemberontakan yang digambarkan di Lampung tidak merupakan aksi
yang terorganisir, tetapi merupakan cetusan sekelompok
bumiputera yang telah putus asa.
Jangan lupa, bahwa cerita itu menggambarkan keadaan tahun 1850
hampir 150 tahun yang lalu. Penduduk seluruh Hindia Belanda baru
30 juta, dan penduduk daerah minus Kabupaten Lebak barangkali
hanya 1000 (seribu) orang Rakyat itu tidak pernah sekolah dan
komunikasi antara satu daerah dengan lain daerah tidak ada.
Dengan menggunakan pangreh praja bumiputera dibantu oleh tentara
kumpeni yang kejam, pemerintah Hindia Belanda berkuasa penuh
Dengan sistim cultuurstelsel, rakyat Belanda di Negeri Belanda
dapat hidup sejahtera.
Dalam suatu adegan sidang kebaktian di suatu gereja di
Amsterdam, dilukiskan "kemunafikan" Belanda waktu itu. Dalam
sidang, yang dihadiri orang-orang terkemuka, politisi, pengusaha
dan pemuka-pemuka gereja, sang pendeta mendoa kepada Tuhan
menyatakan terimakasih atas kesejahteraan yang dinikmati
Amsterdam dan Negeri Belanda -- sebagai imbalan atas pimpinan
dan bimbingan yang mereka berikan kepada kaum bumiputera di
Hindia Belanda Sang pendeta menyatakan, rakyat Belanda mempunyai
tugas suci (mission sacre) untuk membawa rakyat bumiputera
Hindia Belanda dari kegelapan kepada keadaan yang terang. Di
brlakang sidang kebaktian itu terlihat perilaku organisasi
dagang Nederlandse Handel Maatschappii yang dengan cara kejam
memaksa rakyat untuk mengangkut hasil bumi ke kapal yang akan
berlayar ke Negeri Belanda.
Kesimpulan: buku itu harus dilihat sebagai suatu Dakwaan
Terhadap Kolonialisme. Buku Max Havelaar ini dipandang sebagai
salah satu dari 10 buku-buku internasional yang paling baik,
dilihat dari sudut karya literatur. Kita harus bangga, bahwa
pada waktu ini kita dapat menyajikan film ini. Bilamana buku Max
Havelaar ini dari permulaan Republik Indonesia telah ditentukan
sebagai suatu literatur yang harus dibaca oleh pelajar-pelajar
di SMA, justru penampilan visuil cerita ini penting sekali untuk
dapat dilihat di Indonesia dan tidak hanya di luar negeri.
SUCHJAR TEDJASUKMANA
Jl. Senayan 53, Blok S,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini