Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Film saija dan adinda: mengapa ...

Film saija & adinda dipertimbangkan diputar di indonesia, merupakan karya baik. keterlambatan proses sensor karena terdapat penilaian yang berbeda-beda tentang cerita. penting diputar di indonesia. (kom)

25 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA dengar film tersebut sedang dipertimbangkan untuk dapat diputar di Indonesia. Sekalipun sensor telah dilakukan oleh pihak KBRI di Den Haag, ketika 3 tahun yang lalu film itu selesai diproses teknis di Negeri Belanda. Film tersebut saya lihat waktu diputar di bioskop-bioskop di Nederland. Dan memang film itu sctelah lolos dari sensor di KBRI Den Haag telah diputar di hampir semua negara di Eropa Barat, Amerika dan baru-baru ini, dengan memenangkan piagam, diputar dalam film festival di Hongkong. Di hampir semua negara Eropa dan di Amerika film itu dapat sambutan hangat dari para kritikus dan suratsurat kabar New York Times memuat semua resensi yang mengagumkan yang pernah diberikan di semua negara itu. Sekalipun untuk membuat film itu (film itu merupakan joint-investment-production antara Belanda dan Indonesia), telah mendapat izin dari pemerintah RI namun rupanya masih diperlukan scnsor lagi sebelum diputar di wilayah RI. Keterlambatan proses sensor sekarang ini menurut pendengaran saya, karena timbul penilaian berbeda-beda tentang cerita atau tema cerita/film tersebut. Ada yang mengatakan, dalam film itu pangreh praja Indonesia (bupati dan demang Kabupaten Lebak) terlalu buruk digambarkan. Ada juga yang berpendapat, perlawanan yang dilakukan sementara rakyat Lebak kurang ditonjolkan. Ada juga yang berpendirian, dalam film itu kekuasaan Belanda terlalu dibesarkan. Menurut pendapat saya orang-orang yang melancarkan kritik tersebut kurang mengerti tujuan cerita itu. Artinya kurang memahami tema buku Max Havelaar. Buku Max Havelaar bukan untuk menceritakan perjuangan (kemerdekaan) rakyat Indonesia, seperti umpamanya perjuangan Diponegoro atau perang Aceh. Thema buku itu adalah menggambarkan keburukan kolonialisme Hindia Belanda. Menonjolkan seorang idealis (Asisten Residen Max Havelaar) yang dengan sendirinya tidak berhasil melindungi rakyat di daerahnya dari kekejaman sistim kolonial Kolonialisme mana pokok kebijaksanaannya ditentukan di Negeri Belanda. Pelaksanaannya diselenggarakan oleh korps bestuurs-ambtenaar (korps pangreh praja) Belanda di Hindia Belanda dengan menggunakan pangreh praja bumiputera. Sikap rakyat yang digambarkan adalah sikap rakyat yang miskin dan tertindas, putus harapan dan hidup dalam serba ketakutan. Pemberontakan yang digambarkan di Lampung tidak merupakan aksi yang terorganisir, tetapi merupakan cetusan sekelompok bumiputera yang telah putus asa. Jangan lupa, bahwa cerita itu menggambarkan keadaan tahun 1850 hampir 150 tahun yang lalu. Penduduk seluruh Hindia Belanda baru 30 juta, dan penduduk daerah minus Kabupaten Lebak barangkali hanya 1000 (seribu) orang Rakyat itu tidak pernah sekolah dan komunikasi antara satu daerah dengan lain daerah tidak ada. Dengan menggunakan pangreh praja bumiputera dibantu oleh tentara kumpeni yang kejam, pemerintah Hindia Belanda berkuasa penuh Dengan sistim cultuurstelsel, rakyat Belanda di Negeri Belanda dapat hidup sejahtera. Dalam suatu adegan sidang kebaktian di suatu gereja di Amsterdam, dilukiskan "kemunafikan" Belanda waktu itu. Dalam sidang, yang dihadiri orang-orang terkemuka, politisi, pengusaha dan pemuka-pemuka gereja, sang pendeta mendoa kepada Tuhan menyatakan terimakasih atas kesejahteraan yang dinikmati Amsterdam dan Negeri Belanda -- sebagai imbalan atas pimpinan dan bimbingan yang mereka berikan kepada kaum bumiputera di Hindia Belanda Sang pendeta menyatakan, rakyat Belanda mempunyai tugas suci (mission sacre) untuk membawa rakyat bumiputera Hindia Belanda dari kegelapan kepada keadaan yang terang. Di brlakang sidang kebaktian itu terlihat perilaku organisasi dagang Nederlandse Handel Maatschappii yang dengan cara kejam memaksa rakyat untuk mengangkut hasil bumi ke kapal yang akan berlayar ke Negeri Belanda. Kesimpulan: buku itu harus dilihat sebagai suatu Dakwaan Terhadap Kolonialisme. Buku Max Havelaar ini dipandang sebagai salah satu dari 10 buku-buku internasional yang paling baik, dilihat dari sudut karya literatur. Kita harus bangga, bahwa pada waktu ini kita dapat menyajikan film ini. Bilamana buku Max Havelaar ini dari permulaan Republik Indonesia telah ditentukan sebagai suatu literatur yang harus dibaca oleh pelajar-pelajar di SMA, justru penampilan visuil cerita ini penting sekali untuk dapat dilihat di Indonesia dan tidak hanya di luar negeri. SUCHJAR TEDJASUKMANA Jl. Senayan 53, Blok S, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus