Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Film taksi: itulah cara berkesenian

8 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah pemain yang tampil berlama-lama di layar bioskop tanpa sepatah kata pun diucapkannya, kecuali hanya gerakan cengar-cengir, mungkin dimaksudkan sutradaranya sebagai penekanan visualisasi dalam film. Kaya gambar dan miskin kata itulah yang disebut visualisasi sebagai seni yang lebih cocok untuk media film. Dan itulah ciri umum film Indonesia. Sebaliknya, kaya kata dan miskin gambar adalah ciri umum film India dan video kungfu Hong Kong. Visualisasi yang demikian itulah kiranya yang dimaksudkan oleh Leila S. Chudori waktu meresensi Taksi yang baru-baru ini memenangkan enam piala Citra sebagai film terbaik 1990 (TEMPO, 17 November 1990, Film). Setelah saya menonton Taksi, saya berpendapat lain. Berbeda dengan Leila S. Chudori, adegan pertengkaran Desi dan ibunya menurut saya tidak perlu diganti dengan flashback yang menceritakan masa lalu Desi. Tanpa flasback justru akan teruji kemampuan bermain Meriam Bellina dan H. Nany Wijaya. Dan mereka itu telah lulus. Mereka telah mengekspresikan gejolak hati sesuai dengan tuntutan cerita. Dengan dialog yang diucapkan dengan jelas, berkat teknik dubbing yang jernih, penonton tidak perlu dibantu lagi dengan flashback untuk menangkap cerita. Tanpa flashback kemampuan sutradara akan teruji. Dengan menyuruh Meriam Bellina meratapi nasibnya sambil menuruni tangga, Arifin berhasil mengajak penonton larut dalam emosi secara efektif. Seorang sutradara yang dramawan seperti Arifin ingin mengucapkan perasaannya lewat segala macam media semaksimal mungkin. Ya gambar, ya kata-kata. Meskipun banyak kata yang digunakan dalam Taksi, jumlahnya terasa pas, efisien, tidak berlebihan. Bagaimana bisa demikian? Dengan cerdik Arifin menempatkan kata-kata, baik dialog maupun monolog, pada setiap gambar yang muncul di layar. Apakah gambar itu berupa taksi yang sedang meluncur, lalu lintas Jakarta yang padat, kerumunan warga RT sekitar rumah tinggal Giyon, pemandangan alam, kerumunan sopir taksi di pool, semuanya diisi dengan dialog. Kadang-kadang dibuat tumpang tindih, tapi terasa jelas. Dengan demikian, setiap gambar berfungsi efektif dalam menyampaikan pesan. Seolah-olah setiap gambar itu bagi Arifin seperti panggung di Gedung Kesenian Jakarta atau TIM tempat ia biasa manggung. Arifin tidak perlu menampilkan wajah dan bibir untuk mengucapkan dialog. Apalagi sosok pemain yang diam seperti dalam sinetron. Setiap kali muncul, sosok itu bergerak sambil mengucapkan dialog sehingga terasa dinamis. Karena itu, ilustrasi musik sering terdesak, tempatnya diisi oleh kata-kata. Dengan demikian, tontonan menjadi hidup, lancar tidak membosankan. Itulah yang disebut seni blocking dan seni tempo. Dan memang Arifin pakar dalam mengembangkan blocking dan tempo permainan. Bandingkan dengan film Naga Bonar misalnya. Banyak gambar yang dibiarkan sepi, tanpa ilustrasi musik, apalagi kata-kata. Tidak heran kalau cerita berjalan lamban, temponya mandek, tidak terjaga. Dalam hal perwatakan, Arifin memang kaya, penuh ide seperti kamus saja. Hampir setiap pemainnya dihiasi dengan watak yang bervariasi antara satu pemain dan pemain lainnya. Adalah menarik, sisipan adegan yang lucu, tatkala si pemuda yang tidak jadi merampok sopir taksi ingin menghabisi nyawanya sendiri dengan pisau, tapi tidak jadi, gara-gara mengucapkan monolog Hamlet karya Shakespiere: to be or not to be. Ketiga sisipan tersebut, dan masih banyak lagi, adalah upaya Arifin memberikan watak bagi pemainnya. Dan pemberian watak seperti itu membuahkan permainan yang hidup, yang pada gilirannya menyumbang bagi tempo permainan. Itulah caranya berkesenian. Banyak orang yang mengatakan, Taksi enak ditonton, tapi tidak banyak yang bisa menganalisis. IR. H. SURYANI ISMAIL Jalan SD III No. 58, Jakarta 12310

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus