LISTRIK bersaudara dengan politik? Pemilihan umum masih jauh, tapi kampanye sudah mulai di Pekalongan, Jawa Tengah. Ikutilah kisahnya berikut ini dengan sabar. Warga Kelurahan Poncol di Kota Batik itu sejak tahun lalu berminat memasang listrik di rumah mereka. Biaya seluruhnya Rp 10.607.375. Tunai. Ini berarti 86 warga setor masing-masing sekitar Rp 106.000. "Biaya itu murah, karena perlu menambah tiga tiang," kata Joko Santoso, Kepala PLN Pekalongan. Sayang, bagi warga di sana, yang terdiri dari buruh kasar, harga tersebut belum tentu murah. Mereka, ya, penarik becak tukang batu, dan sebagainya. Muncul Purnomo, tokoh Partai Demokrasi Indonesia. Bermukim tak jauh dari situ, lalu ia merentangkan kabel dari rumahnya ke beberapa jiran, dengan cukai Rp 1.000 sebulan. Sempat enam bulan, "jasa baik" Purnomo itu tercium Subandi -- sesepuh Golkar setempat yang menjabat lurah. Melayanglah kontak kepada Ketua DPD Golkar Pekalongan, H. Muhammad Palil. Tugas pun dibagi, di antaranya untuk H. Mukmin Bakri, warga setempat yang membidangi tani, nelayan, dan koperasi DPD Golkar Pekalongan. Ia "menjinakkan" kawasan berpenghuni 125 kk (sekitar 1.200 jiwa) itu. Mereka sudah dianggap "kader Golkar", hingga bisa bermukim di kaveling sekitar satu hektare yang berstatus bengkok, milik Subandi. Baru dua tahun ini mereka tinggal di sana. Sebelumnya selama lima tahun tinggal di tanah lambiran irigasi. Karena ada pelebaran Sungai Kanal, mereka digusur, lalu Pemda Pekalongan memindahkannya ke bengkok Subandi. Maka, ketika mereka "digarap" Purnomo, tentu pihak Golkar tersentak. Panitia Perlistrikan Kelurahan Poncol, yang diketuai Mukmin, segera dibentuk September lalu. Pertemuan dengan warga beberapa kali tak menghasilkan jalan keluar. Juga upaya minta kredit di Bank Rakyat Indonesia (BRI). Gagal, sebab panitia tak punya agunan. Lalu Wali Kota Pekalongan, Moh. Chaeron, menyumbang Rp 950.000. Disusul uluran tangan Subandi. "Daripada wilayah kami menjadi 'kandang banteng', kami siap sebagai ujung tombak," ujarnya. Pak Lurah ini menyediakan agunan berupa sertifikat tanah milik istrinya. Ia menyerahkan ke BRI untuk beroleh kredit dua tahun sebesar Rp 12 juta, awal November lalu. Lunas untuk PLN, sisanya disimpan di Simpedes (Simpanan Pedesaan). Akan halnya pengembalian kredit plus bunga, tiap penduduk wajib bayar Rp 250 per hari. Untuk menghimpun dari penduduk panitia membentuk 8 kelompok. "Saya tak cemas agunan bakal hilang. Sebab, warga saya baik-baik," kata Subandi kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO. Warganya berpenghasilan rata-rata Rp 2.500/ hari. Hitungan di atas, dalam dua tahun panitia, bisa menyisihkan Rp 1.528.800 -- plus perangsang dari BRI Rp 300 ribu. Ini jika panitia bisa lancar setor enam bulan berturut-turut. Kelak uang lebih itu direncanakan sebagai modal mendirikan koperasi serta untuk menyelesaikan urusan tanah yang ditempati penduduk itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini