MEMBACA rencana GBHN baru kita seperti dimuat koran sangat menggembirakan bahwa dalam GBHN baru itu akan tercantum konsepsi partisipasi rakyat sebagai strategi pembangunan di negara klta. Pembangunan desa yang partisipatif pada tingkat desa adalah proses pembangunan yang didasarkan pada prinsip gotong-royong antara pemerintah dan rakyat desa, baik dalam membiayai maupun merencanakan program-program pembangunan. Partisipasi dengan demikian dapat diartikan sebagai usaha meratakan tanggung jawab antara pemerintah desa dan rakyat desa dalam menciptakan pembangunan d pedesaan. Yang menjadi pertanyaan: sejauh mana pemerintah desa yang diatur oleh Undang-Undang No. 5/1979 dapat mendorong keberhasilan pembangunan pedesaan yang bersifat partisipatif seperti yang diamanatkan nantinya oleh GBHN kita yang baru. Mengkaji kembali Undang-Undang No. 5/1979 secara teliti, ada beberapa permasalahan yang muncul dalam tubuh undang-undang itu yang mungkin dapat menghambat pelaksanaan pembangunan pedesaan yang bersifat partisipatif. Pasal 10 ayat 1 UU No. 5/1979 mengatur tugas seorang kepala desa yang harus bertanggung jawab atas rumah tangga desa di samping harus bertanggung jawab atas urusan pemerintahan umum. Di samping kedua tugas itu, pasal 17 menentukan bahwa seorang kepala desa adalah juga merangkap sebagai Ketua Lembaga Musyawarah Desa dan Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa. Di sini kelihatan betapa sangat mutlaknya kekuasaan seorang kepala desa. Situasi di atas memang sangat cocok bagi suatu proses pembangunan yang bersifat sentralistis dan berorientasi pada falsafah pelaksanaan pembangunan yang menekankan pada direktif dan regulatif, tetapi tidak ideal lagi bagi suatu proses pembangunan yang bersifat partisipatif. Mengapa tidak? Pertama, untuk melaksanakan suatu pembangunan pedesaan yang partisipatif, dibutuhkan dialog yang intensif antara kepala desa dan anggota masyarakatnya. Untuk melaksanakan hal ini, kepala desa membutuhkan cukup waktu untuk mengenali aspirasi pembangunan seluruh anggota masyarakatnya dan bukan aspirasi sekelompok orang dalam masyarakatnya. Mungkinkah seorang kepala desa yang telah terlalu sibuk melakukan hal ini? Problem ini akan menjadi kompleks sifatnya apabila kepala desa kebetulan telah uzur usia dan pendidikan mereka rendah. Dalam situasi seperti ini maka kepala desa yang telah sibuk itu akan bekerja dengan semangat seadanya. Pedoman mereka adalah asal melaksanakan tugas mereka. Kedua, pembangunan pedesaan yang bersifat partisipatif adalah suatu proses pembangunan yang bersifat pemerataan tanggung jawab penciptaan pembangunan dalam masyarakat antara pemerintah dan rakyat desa. Prinsip ini tidak tercermin dalam UU No. 5/1979 yang mengangkat kepala desa sebagai Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Kepala desa pada hakikatnya adalah seorang kepala badan eksekutif. Dengan duduknya kepala desa sebagai ketua dari dua lembaga yang sifatnya non-eksekutif, peranan kepala desa menjadi sangat kabur dan kesan bahwa kekuasaannya sebagai sangat mutlak tak dapat dihindari. Ketiga, proses pembangunan pedesaan yang bersifat partisipatif menyangkut juga persoalan pertanggungjawaban kepala desa. Pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa kepala desa bertanggung jawab kepada bupati melalui camat, tetapi ia tidak bertanggung jawab kepada Lembaga Musyawarah Desa. Kepada Lembaga Musyawarah Desa ,kepala desa hanya sekadar memberikan keterangan. Karena kepala desa bertanggung jawab kepada bupati dan bupatilah yang mengevaluasi pekerjaannya, ada kemungkinan bahwa yang penting bagi kepala desa adalah menjalankan perintah bupati. Dalam konteks pembangunan desa hal ini berarti bahwa kepala desa akan memberikan prioritas pada program-program pembangunan yang datang dari "atas" dan bukan yang dari "bawah". Memang undang-undang itu mengharuskan kepala desa berkonsultasi dengan Lembaga Musyawarah Desa, tetapi karena kepala desa juga Ketua Lembaga Musyawarah Desa, ia mempunyai kekuasaan untuk lebih menentukan keputusan yang diambil oleh lembaga itu. Kepala desa akan segera berfungsi sebagai Kcpala Pemerintahan Desa dan bukan sebagai Ketua Lembaga Musyawarah Desa apabila ia melihat bahwa rencana-rencana pembangunannya akan ditolak oleh Lembaga Musyawarah Desa. Kemungkinan seperti ini telah sering dilaporkan oleh para peneliti yang mengadakan penelitian di daerah pedesaan. Negara kita adalah negara yang unik. Keunikan itu terletak pada kenyataan bahwa kita memiliki berbagai suku, yang masing-masing memiliki adat-istiadat yang relatif canggih. Hal ini berarti pula desa di Indonesia juga sangat unik, tiap desa juga mempunyai adatkeblasaan masing-masing yang canggih pula. Kebhinekaan desa-desa di Indonesia tampaknya tidak tercermin dalam Undang-Undang No. 5/1979. Di desa-desa Jawa, legalitas kekuasaan memang hanya bergantung pada Surat Keputusan Bupati. Lain halnya dengan pedesaan di luar Jawa. Selain SK Bupati, dia perlu memperoleh restu dari para pemangku adat setempat. Kekuasaan "sekuler" dan kekuasaan adat tampak masih terintegrasi secara utuh di desa-desa luar Jawa. Kepala desa di luar Jawa masih juga bersifat primus inter pares. Sedang Undang-Undang No 5/1979 menetapkan kepala desa sebagai penguasa tunggal di desanya. Lalu bagaimana cara memperbaiki kelemahan yang ada dalam UU No. 5/1979 itu? Pertama, kita harus menghilangkan pasal-pasal yang memungkinkan kepala desa merangkap sebagai Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Untuk jabatan Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa sebaiknya diangkat para Kader Pembangunan Desa, sedang Ketua Lembaga Musyawarah Desa diangkat dari anggota Lembaga Musyawarah Desa. Ketua Lembaga Musyawarah Desa sebaiknya dipilih dari dan oleh anggota lembaga itu. Kedua, kepala desa harus bertanggung jawab kepada Lembaga Musyawarah Desa dalam hal pembangunan desa. Sedang dalam urusan pemerintahan desa ia dapat bertanggung jawab kepada Bupati. Ketiga, demikian pula Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa harus pula bertanggung jawab kepada Lembaga Musyawarah Desa. Keempat, untuk menghindari budaya "dagang sapi" dalam pemilihan kepala desa, hanya calon kepala desa yang dicalonkan oleh Lembaga Musyawarah Desalah yang dapat diangkat sebagai kepala desa. Kelima, jumlah anggota Lembaga Musyawarah Desa harus diatur sedemikian rupa sehingga mencerminkan perwakilan yang merata dari masyarakat desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini