APAKAH Sidang Umum MPR, yang akan dimulai Selasa pekan ini, akan bulat atau benjol? Pertanyaan ini belakangan banyak diarahkan ke Senayan, ke arah seribu anggota majelis yang muai Selasa pekan ini akan bersidang selama 11 hari. Yang dimaksud "bulat": bila sidang itu berjalan mulus tanpa voting, dan "benjol" bila yang terjadi sebaliknya. Voting memang bukan suatu aib, memang. Malah itu suatu hal yang wajar dalam suatu proses demokrasi. Para bapak pendiri republik kita pun melakukan voting (yang kala itu disebut stem) tatkala menyusun rancangan UUD 1945. Tapi entah mengapa kini voting dianggap amat sangat perlu dihindarkan, mungkin karena dinilai "cacat" atau "cela". Sidang Umum MPR 1983 memang selamat dari "cela" itu. Namun, lima tahun sebelumnya, SU MPR t978, bukan saja terjadi voting, malah sempat juga terjadi walk-out, tatkala F-PP keluar ruangan sidang sewaktu soal kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa diputuskan. Kini apakah sejarah 1978 akan terulang? Pertanyaan ini tidak mengada-ada. Dalam 11 hari sidang, para anggota MPR harus menyelesaikan 11 materi utama berupa 10 rancangan ketetapan (rantap) dan rancangan keputusan (rantus) untuk disahkan. Di samping harus merumuskan GBHN. Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR, yang bertugas membahas rancangan GBHN - berdasarkan naskah sumbangan Presiden Soeharto - masih mempunyai "tunggakan". Tidak semua materi GBHN diselesaikan dengan suara bulat. Dari semua materi GBHN yang berupa 295 butir sumbangan, 161 butir telah disetujui secara bulat oleh semua fraksi. Masih ada lagi 99 butir yang disetujui dalam BP MPR setelah mengalami perubahan. Slsanya, yang 35 butir - semuanya usulan F-PP - ditangguhkan dan akan dibahas dalam SU MPR. Usulan F-PP di bidang ideologi dipertahankan sampai ahhir sidang BP MPR. Usul itu berupa penambahan kata "dan UUD 145" di belakang setiap kata "Pancasila". Juga penambahan "dan pelaksanaan UUD 1945" mengikuti kata "pengamalan Pancasila. Di bidang keagamaan, F-PP juga mengusulkan beberapa penambahan. Misalnya pemisahan kata "agama" dengan "kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa", usulan kurikulum pelajaran agama, guru agama di sekolah swasta, dan soal pesantren. F-PP juga ngotot dalam masalah pemilu dan massa mengambang. Untuk itu, parpol ini bersikeras pada rumusan "Organisasi Peserta Pemilu OPP agar diikutsertakan sebagai penyelenggara pemilu", bukan hanya pemerintah saja, seperti yang terjadi selama ini. Tentang massa mengambang, F-PP mengusulkan agar "organisasi Parpol-Golkar sampai ke desa". Usulan lain adalah "Parpol-Golkar dibiayai APBN/APBD" dan "aparat pemerintah bebas memilih OPI' dan tidak boleh menjadi pengurus/penasihat organisasi sospol". Fraksi lain tidak sependapat dengan F-PP. Misalnya soal penambahan "UUD 1945" oleh trifraksi (FKP, A-ABRI, dan FUD) dianggap tidak perlu. Karena dalam Bab I Landasan sudah dirumuskan: "GBHN di susun berdasarkan landasan idiil Pancasila dan konstitusional UUD 1945". Artinya, Pancasila dan UUD 1945 sudah melandasi seluruh isi GBHN. Usul F-PP tentang pemisahan agama dan kepercayaan juga ditolak, karena dianggap bukan masalah baru. "Sejak SU MPR 1978, hal itu memang dirumuskan sama," kata seorang anggota Panitia Ad Hoc II. Penyatuan kepercayaan dalam GBHN karena peranannya dalam pembangunan sama, yaitu sebagai landasan moral, etika, spiritual. Tambah lagi, dalam GBHN sudah ditegaskan bahwa kepercayaan bukan agama. Masih ada ganjalan lain. Dari 11 rantap dan rantus yang disiapkan Panitia Ad Hoe II yang masih disodorkan untuk dibahas, walau mendapat tentangan keempat fraksi lainnya, adalah "Kedudukan, Wilayah Kegiatan, dan Pembiayaan Parpol-Golkar". Tekad F-PP untuk berlaga dalam SU MPR nempertahankan usulannya bukan cuma untuk yang belum disepakati atau yang belum diterima secara bulat. "Tetap akan kami baa ke sidang umum, baik yang macet maupun yang bulat," kata Darussamin Sekjen DPP-PPP kepada TEMPO. Ia tidak menutup kemungkinan akan buntu dan terpaksa ditempuh dengan jalan voting "Sedapat mungkin kita hindari voting. Kalau bisa, ya mufakat bulat. Kalau harus voting berarti benjol," katanya. Sementara itu, trifraksi sejak memasuki persidangan BP mempunyai sikap sama. Naskah GBHN sumbangan Presiden dianggap sebagai naskah utama untuk dibahas. "Kalau terjadi kemandekan dalam pembahasan, kiranya. sangat tepat jika trifraksi itu mempertahankan saja naskah rumusan "tim sembilan" Presiden itu," kata seorang anggota FABRI. Tinggal Fraksi PDI. Fraksi terkecil ini pada mulanya memang bersikap keras dalam menyampaikan usulan ekonomi dan politik. Akhirnya, F-PDI berubah lunak dan mundur, lantas menarik 8 usulannya. Dengan demikian, bahan yang disiapkan BP MPR, menurut Wakil Ketua MPR R. Soeprapto, memang belum seratus persen beres. Sebagai pimpinan majelis yang bertanggung jawab atas persiapan materi sidang umum, ia menganggap pihak yang ngotot mempertahankan usulnya adalah emosional dan irrasional. "Jika tidak bisa diselesaikan dengan bulat, ya, lewat ketentuan yang ada." Artinya, ya, voting. Menurut Akbar Tanjung, Sekretaris FKP MPR, fraksinya siap melakukan voting jika ada fraksi yang tidak mau diajak musyawarah mufakat. Ia menilai beberapa usulan tambahan F-PP itU sudah tidak perlu lagi. Karena, katanya, bahan yang sudah disiapkan sudah mencakup semua keinginan F-PP itu. Penegasan Akbar tampaknya mencerminkan pendapat trifraksi. Dalam konsultasi tiga fraksi hari Minggu pekan lalu, disepakati bahwa ketiganya tidak akan mau kompromi dengan apa yang telah dicapai BP MPR sampai sekarang. Tiga fraksi terbesar MPR itu juga siap untuk tidak mau kompromi lagi dengan 35 butir usulan tambahan GBHN dan satu rantap yang diusulkan F-PP. Tampaknya semua kini berpulang pada F-PP, mau menyepak bola yang bulat atau benjol. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini