JAKARTA berhias dengan gincu dan bedak. Ada umbul-umbul sepanjang jalan utama. Spanduk kuning bertebaran di mana-mana. Ada poster tertempel di tembok, ada pula balon tergantung di angkasa. Semuanya meneriakkan pesan yang sama, "Sukseskan Sidang Umum MPR". Ini memang saat-saat penting, yang di masa normal terulang setiap lima tahun sekali. Seribu anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat - 400 di antaranya dipilih lewat pemilu - akan bersidang selama 11 hari untuk merumuskan GBHN dan memilih presiden dan wakil presiden. Untuk masa Orde Baru, kecuali Sidang Istimewa MPRS pada 1966 dan 1967, inilah sidang umum MPR yang kelima, setelah 1968 (MPRS), 1973, 1978, dan 1983. Berbeda dengan sidang-sidang yang lampau, penjagaan keamanan kali ini sangat tidak mencolok. Tidak terlihat panser dan mobil lapis baja di sekeliling Senayan. Tidak ada pula pasukan yang ditempatkan di perbatasan kota untuk mencegah gerakan mahasiswa dan luar kota masuk Jakarta, seperti pada 1978. Bahkan tidak tampak pula tentara dengan bedil terhunus di pojok-pojok jalan. Yang banyak terlihat c,uma polisi berjaga-jaga seperti biasa. Memang Taman Ria Senayan dan restoran-restoran di dalamnya - termasuk pabrik ketawa Srimulat - ditutup selama sidang umum. Tapi penutupan itu bisa dimengerti, karena tempatnya yang berimpitan dengan gedung DPR/MPR. Semua itu menunjukkan bahwa 1988 memang berbeda dengan 1983. Situasi keamanan saat ini lebih baik - menurut Jenderal Benny bahkan paling aman--dan pergolakan politik pun jauh lebih reda. Hingga tidak terasa adanya ketegangan menjelang sidang. Kalaupun ada sedikit ketegangan di Senayan, itu terjadi Rabu pekan lalu, tatkala penjagaan di gedung DPR Senayan "kebobolan". Waktu itu seribuan anggota YKAM (Yayasan Keluarga Adil Makmur) nyelonong ke DPR, mengadukan nasibnya setelah lembaga mereka ditutup pemerintah. "Kami takut kebobolan lagi. Kemarin kami didamprat habis-habisan," kata seorang petugas. Di tempat "perhelatan" sendiri, persiapan pun cukup rapi. "Kami sudah menambah kursi menjadi seribu," kata Wang Suwandi, Sekretaris Jenderal MPR yang punya hajat. Karpet merah pun sudah dihamparkan di gedung utama. Tapi, menurut Wang, tak ada perbaikan berarti di gedung majelis dan wakil rakyat itu. Anggaran sebesar Rp 2,3 milyar - yang diambilkan dari APBN tahun 1987-88 - lebih banyak terserap buat akomodasi para anggota MPR. Biaya hotel saja menghabiskan 60 persen anggaran. Para anggota MPR dari semua daerah telah berkumpul di Jakarta. Selama berlangsungnya sidang umum kali ini, empat hotel di Jakarta bertambah kesibukannya. Hotel Indonesia dan Hotel Wisata ditempati anggota-anggota trifraksi -- Fraksi Karya Pembangunan (F-KP), Fraksi ABRI (F-ABRI), dan Fraksi Utusan Daerah (FUD). Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI) kebagian tempat di Hotel Kartika Chandra. Sedang anggota Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) mendapat jatah di Hotel Sahid Jaya. Tiap anggota mendapat buku biru kecil yang di dalamnya antara lain tertulis: "Mohon perhatian: Bulan Maret ini Jakarta musim hujan." Buku itulah buku petunjuk tentang apa yang bisa atau harus dilakukan para anggota MPR. Dari soal perjalanan ke Jakarta sampai soal larangan merokok dl beberapa tempat, mlsalnya dalam lift. Dengan 1.000 orang anggota majelis dan 200 peninjau, sidang umum memang kerja besar. Kegiatan di luar acara persidangan pun bakal tak kalah sibuk. "Ada 960 pegawai yang kami perbantukan untuk menangani sidang," kata Wang Suwandi. Jumlah itu belum termasuk dari instansi lain. Pos kesehatan, misalnya bakal dipiketi 22 dokter yang dibantu 44 tenaga paramedis. Lima ambulans selalu siap sedia, setiap hari. Sedang Departemen Penerangan jadi seperti memindahkan kantor ke situ, dengan menempatkan 144 pegawainya. Kalangan media massa juga berjubel di Senayan. RRI mengerahkan 130 personel. TVRI bahkan mendirikan studio mini di teras Gana Graha, yang ditulangpunggungi 197 orangnya. Ada 510 orang wartawan media cetak yang terlibat. Sebanyak 450 orang adalah wartawan dalam negeri. Koresponden asing di Jakarta yang ikut serta 42 orang. Dan wartawan yang sengaja datang ke Indonesia khusus untuk meliput acara itu 18 orang. Bagaimanapun, Sidang Umum MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden memang berita besar. Kali ini ada dua hal yang menjadi tanda tanya gede: apakah F-PP akan bersikeras mempertahankan usul perubahannya atas GBHN, hina akan memaksakan terjadinya voting? Pertanyaan kedua jauh lebih menggelitik perhatian: siapa calon wakil presiden untuk lima tahun mendatang? Masalah ini memang telah agak lama diramaikan masyarakat. Soalnya, banyak yang menduga bahwa lima tahun mendatang adalah masa jabatan terakhir Presiden Soeharto. Malah ada yang menduga-duga bahwa Pak Harto sendiri telah mengisyaratkan adanya kemungkinan tidak dijalaninya secara penuh masa jabatan tersebut. Meski dugaan itu tak berdasar kuat, semua itu membuat posisi wapres jadi bahan percakapan penting. Soal calon presiden sendiri tak ada yang mempersoalkan, karena sejauh ini calonnya cuma satu: Jenderal (Purnawirawan) Soeharto. R. Soeprapto - bekas Gubernur DKI Jakarta yang kini menjadi Wakil Ketua MPR dan sekaligus Ketua Badan Pekerja (BP) MPR - menyebutkan bahwa saat ini sudah ada 445 pernyataan kebulatan tekad, "Agar Pak Harto bersedia dipilih kembali menjadi Presiden RI dan agar Sidang Umum MPR berkenan memilih kembali Presiden Soeharto." Dari jumlah itu, 353 pernyataan dikirim lewat surat. Sedang yang datang ke MPR terdapat 92 delegasi. Pada sidang umum kali ini, pengusulan nama calon wakil presiden tidak sebanyak dulu. Hanya Rusmania, 57 tahun, dari Bandung - dan mengaku keturunan Pangeran Diponegoro - yang akhir November 1986 berani mencalonkan diri, biarpun cara pencalonan sebenarnya harus lewat fraksi. Sabtu lalu Rusmania - disertai seorang ajudannya - datang ke gedung DPR/ MPR minta fasilitas untuk ikut sidang umum. Ia minta disediakan hotel dan agar diperkenankan mengikuti sidang Tapi petugas keamanan malah menggiringnya keluar. Memang selalu menyegarkan bila setiap kali terjadi sesuatu yang lepas dari belenggu rutin, seperti pengajuan nama calon wapres ini. Namun, yang pahng menyegarkan: kali ini proses pencalonan wapres tidak datang dari "at.as" seperti masa-masa sebelumnya. Kali ini Presiden Soeharto sama sekali tidak menyebut nama. Ia cuma menyebut lima kriteria layak wapres. Adanya kriteria tersebut segera saja membuat suhu politik di Jakarta lebih cepat berdenyut. Siapa yang dianggap paling bisa memenuhi kualifikasi tersebut? Tampaknya F-PP yang paling gesit bertindak. Hanya sehari setelah soal kriteria itu diungkapkan Presiden, F-KP tampaknya sudah siap dengan calon tunggal: Ketua umum DPP Golkar Sudharmono. Sebenarnya, kemungkinan pencalonan Sudharmono sudah lama disebut-sebut. Usai pemilu tahun lalu, pengurus DPD Golkar Jawa Timur secara tersamar telah menunjukkan dukungannya agar Pak Dhar, begitu ia biasa disebut, "naik". Namun, waktu itu semua orang masih mengira nominasi wapres akan datang dari atas (lihat Memilih Sejumlah Nama lewat Sejumlah Kriteria). Siapa calon lain? F-PP Senin pekan ini telah menyebut nama ketua umum mereka J.Naro. Yang menarik adalah sikap Fraksi ABRI yang memilih diam, meski saudara seperguruannya, F-KP, secara tidak langsung telah mencalonkan Sudharmono. Wajar bila segera saja timbul berbagai spekulasi, dari yang kelas ringan sampai yang superberat. Namun, seorang anggota F-ABRI segera saja menjelaskan "Tunggu dan lihat saja sikap ABRI yang akan dinyatakan dalam pemandangan umum pada hari Kamis 3 Maret," katanya. Hari itu tiap fraksi memang akan mengajukan nama calon wapres mereka. Di masa silam, suara F-KP selalu senada dengan FABRI dan Fraksi Utusan Daerah. Kali ini tampaknya akan begitu juga, tapi banyak yang terus menunggu dan bertanya: apakah FABRI kali ini akan membuat catatan kaki?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini