Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIKAP Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pada Oktober lalu yang mengindikasikan akan menempuh jalan oposisi terlihat hanya sebagai letupan rasa kecewa. Hampir sebulan kemudian, ketika merespons teriakan kadernya dalam kongres NasDem yang menyerukan “oposisi”, Surya malah menyebut gagasan itu “bodoh sekali”.
Tak konsistennya sikap Surya memperlihatkan bahwa ia cuma menggertak Presiden Joko Widodo dan koalisi partai pendukung pemerintah. Main tekan seperti ini bukanlah perilaku terlarang dalam demokrasi, tapi kurang elok sekaligus membikin masyarakat bingung. Partai pendukung pemerintah semestinya konsisten dengan posisinya, kecuali jika benar-benar mau beroposisi.
Manuver Partai NasDem sebetulnya tidak sulit dibaca. Surya Paloh mengancam bahwa partainya akan menjadi oposisi setelah mengalami kekecewaan. NasDem sudah mulai bereaksi ketika Presiden Jokowi mengajak Partai Gerindra masuk kabinet. Didukung sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Jokowi akhirnya tetap merangkul Gerindra. Partai ini bahkan mendapat dua posisi menteri. Salah satunya Kementerian Pertahanan, yang dipegang Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.
NasDem, yang sejak periode lalu mengusung Jokowi, kian kecewa lantaran hanya mendapat tiga kursi dari empat yang diinginkan. Posisi Jaksa Agung, yang dipegang NasDem pada periode lalu, salah satu yang hendak dipertahankan. Tapi semua keinginan itu tak terpenuhi. Jokowi memberikan posisi penting tersebut kepada jaksa senior yang dikenal dekat dengan kalangan PDIP.
Tak lama setelah kabinet terbentuk, Surya menyambangi Partai Keadilan Sejahtera, yang sudah bertekad menjadi oposisi, dan memeluk erat Presiden PKS Sohibul Iman. Surya juga mendekati Gubernur Anies Baswedan dan mempromosikannya sebagai calon presiden 2024. Tapi semua manuver karena rasa kecewa itu mereda setelah Surya dan Jokowi berpelukan dalam penutupan kongres NasDem beberapa waktu lalu. Megawati, yang dikabarkan berseteru dengan Surya, pun hadir dalam perhelatan itu.
Gagasan beroposisi sebetulnya bagus bila NasDem melakukannya secara konsisten. Partai itu perlu mengumumkan secara terbuka dan menarik kadernya dari kabinet. Apalagi situasi koalisi pro-pemerintah memang agak sumpek. Partai pendukung Presiden Jokowi sudah terlalu banyak, seperti PDIP, Gerindra, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, dan sejumlah partai lain.
Dukungan politik yang amat kuat kepada pemerintah itu hanya akan menyebabkan Dewan Perwakilan Rakyat jadi tukang stempel. Oposisi yang memadai amat diperlukan untuk mengontrol pemerintah. Demokrasi juga membutuhkan disensus agar memperbaiki dirinya terus-menerus. Jika menjadi oposisi, NasDem bisa memainkan peran penting tersebut bersama partai lain, seperti PKS.
Menjadi oposisi atau “berpuasa”—mengutip istilah kalangan PKS—bukanlah pilihan buruk. NasDem bisa saja meraup suara lebih besar pada Pemilihan Umum 2024. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Gerindra sudah pernah membuktikan hal itu saat menjadi oposisi. Bila pemerintah Jokowi dianggap kurang berhasil pada periode kedua ini, partai yang beroposisi akan mengeruk banyak keuntungan politik.
Sikap yang mendua—bersikap kritis terhadap pemerintah tapi menempatkan kadernya di kabinet—tentu tidak elok dalam berdemokrasi. Manuver NasDem sebaiknya menghindari politik dua kaki. Partai yang oportunistik malah akan dibenci sesama partai pendukung pemerintah sekaligus dicemooh publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo