Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain tidak ada dalam rancangan proyek pembangunan kompleks kilang gas alam cair (LNG) yang bakal dibangun di Saumlaki, Pulau Yamdena, masuknya Tomy Winata jelas bakal menggelembungkan nilai proyek yang kini sudah mencapai sekitar Rp 280 triliun.
Sepintas, fasilitas pelabuhan dan dukungan logistik milik PT Samudera Indo Sejahtera, nama anak usaha Tomy Winata di Tual, memang memadai. Terletak 500 kilometer arah timur laut ladang gas Abadi Blok Masela, kedalaman dermaga pelabuhan itu mencapai 15 meter, cukup untuk sandar kapal-kapal berukuran besar. Lokasi dua pelabuhan lain yang disebut-sebut bisa menjadi alternatif memang lebih dekat. Salah satunya pelabuhan PT Pertamina (Persero) di Saumlaki. Namun kedalamannya hanya separuh dari pelabuhan ikan milik Tomy di Tual.
Masalahnya, Inpex dan Shell selaku kontraktor proyek Masela belum pernah mengumumkan rencana mereka perihal pembangunan fasilitas penunjang ini. Dokumen revisi rencana pengembangan (plan of development atau POD) lapangan Abadi baru disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada Juli 2019. Inpex saat ini sedang mempersiapkan dokumen desain dan rekayasa (front-end engineering design), sebelum konstruksi dimulai pada akhir 2020. Karena itu, tawaran Artha Graha Group Network jadi terasa seperti jurus potong kompas alias fait accompli.
Pola bisnis semacam ini tak bisa dibiarkan. Proyek Blok Masela merupakan program strategis yang bisa menggenjot pendapatan negara dari sektor migas sampai 50 tahun ke depan. Rencananya, proyek Masela menghasilkan 9,5 juta ton per tahun gas alam cair dan gas bumi atau gas pipa sebanyak 150 juta kaki kubik per hari. Cadangan gas Masela yang amat berlimpah sampai 10,7 triliun kaki kubik membuat investasi Inpex di sana mencatat rekor sebagai penanaman modal terbesar perusahaan Jepang di Indonesia. Keterlambatan konstruksi bisa menimbulkan kerugian kesempatan (opportunity lost) senilai Rp 49 triliun setahun.
Riwayat proyek Blok Masela sungguh berliku. Keputusan pemerintah untuk mengubah skema pembangunan proyek ini, dari kilang terapung (offshore) yang sudah disepakati pada 2010 menjadi skema darat (onshore) enam tahun kemudian, menimbulkan pembengkakan biaya yang seharusnya bisa dihindari. Untuk menanggung ongkos perubahan skema itu, kontrak bagi hasil Blok Masela kini diperpanjang hingga 2055. Dengan kata lain, pemerintah jugalah yang harus menyerap kerugian akibat keputusan itu.
Sebagai penanggung jawab utama pemerintah di sektor investasi, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan harus turun tangan memastikan setiap keputusan dalam pembangunan proyek Blok Masela diambil berdasarkan pertimbangan bisnis yang rasional. Lobi di bawah meja hanya akan merugikan kepentingan investor dan pemerintah sendiri. Dalam jangka panjang, praktik semacam ini tentu menimbulkan iklim bisnis yang tidak kompetitif.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif juga harus mengamankan proyek ini dari campur tangan pihak lain yang tidak berkepentingan. Dwi dan Arifin tak boleh gentar menghadapi tekanan kanan-kiri. Mereka harus memastikan negara mendapat manfaat sebesar-besarnya dari proyek prestisius ini dan menolak tawaran pihak lain yang sejatinya hanya akal-akalan untuk ikut menangguk rezeki di Masela.
Pada saat yang sama, sebagai kontraktor, Inpex harus bersikap transparan. Perusahaan Jepang ini tak boleh memberi toleransi pada praktik bisnis yang tak patut. Mereka harus mengendalikan biaya proyek ini agar tak melambung dan merugikan kepentingan Indonesia.
Pada akhirnya, Presiden Joko Widodo yang harus memastikan pelaksanaan proyek Blok Masela tidak diganggu pelbagai proposal titipan. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi sudah menegaskan prioritasnya untuk menggenjot pembangunan ekonomi dan infrastruktur pada periode kedua pemerintahannya. Membiarkan proyek titipan kontradiktif dengan komitmen Jokowi tersebut.
berita terkait halaman 00
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo