Syamsuddin Haris*)
*) Pengamat politik dari LIPI
NASIB pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tampaknya tinggal soal waktu. Memorandum pertama DPR selama tiga bulan kelihatannya bakal diikuti memorandum kedua selama sebulan, yang kemudian dilanjutkan dengan Sidang Istimewa MPR. Betapapun Presiden menjanjikan percepatan reformasi dan membentuk komisi hukum serta komisi politik untuk mendukungnya, bola salju kejatuhan Abdurrahman tampaknya tak terhindarkan. Perubahan sikap Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi TNI/Polri dalam Sidang Paripurna DPR mengenai Kasus Buloggate dan Bruneigate merupakan indikasi awal yang mengarah ke sana.
Namun, kalaupun Sidang Istimewa MPR harus digelar dan Presiden Abdurrahman jatuh karenanya, ini merupakan pilihan sangat pahit bagi bangsa kita. Ada beberapa faktor yang melatari argumen tersebut. Pertama, Abdurrahman Wahid menjadi presiden bukan karena kehendaknya, melainkan terutama karena "dipaksakan" oleh kekuatan Poros Tengah, yang dikomandani Amien Rais--dalam rangka menolak Megawati Sukarnoputri. Seperti diketahui, pada Sidang Umum MPR 1999, Poros Tengah berselingkuh secara politik dengan Golkar, yang sebelum Pemilu 1999 diharamkan oleh Amien Rais. Belakangan, para eksponen Poros Tengah pula yang sejak tahun lalu paling "ngotot" meminta Abdurrahman mundur atau, kalau perlu, disidangistimewakan.
Kedua, pilihan sidang istimewa itu sendiri bakal menjadi preseden buruk karena Wakil Presiden Megawati, yang kelak meneruskan jabatan presiden hingga tahun 2004, akan menghadapi siasat politik serupa dari politisi oportunis di DPR dan MPR. Sinyalemen bahwa keluarga Megawati pun terindikasi KKN akan menjadi senjata baru bagi orang-orang partai di Senayan untuk menggoyang kepemimpinan Megawati, sehingga ia bakal jatuh sebelum usai masa jabatannya, seperti yang dialami Abdurrahman. Betapapun PDI-P merupakan kekuatan mayoritas di DPR, Megawati bakal menghadapi goyangan koalisi oportunisme baru yang terbentuk karena dipicu, misalnya, tak kebagian kursi dalam kabinet.
Ketiga, aroma saling curiga, prasangka, dan balas dendam politik begitu kental mewarnai arena pertarungan, sehingga tak ada lagi akal sehat, moralitas, dan keberadaban politik di sana. Mantra politik Machiavelli, the ends justified the means, tujuan menghalalkan cara, benar-benar menjadi rujukan para elite politik yang tengah bertarung. Berbagai soal politik dan hukum yang seharusnya sederhana tidak jarang dipelintir dan diinterpretasikan sesuai dengan tafsir dan kepentingan kelompok. Logika politik dibolak-balik dan direduksi menurut selera elite politik yang bertikai, sehingga sebagian rakyat menjadi bingung dan sebagian lagi terperangkap dalam kecenderungan serupa.
Karena itu, suatu kekeliruan besar apabila ada anggapan bahwa konflik politik antara DPR dan Presiden akhir-akhir ini ada hubungannya dengan reformasi. Tak seorang pun elite politik yang tengah bertarung dewasa ini benar-benar berhak mengaku reformis dan, karena itu, memiliki kredibilitas moral untuk mengatasnamakan perjuangan kepentingan mereka sebagai penegakan reformasi.
Mengapa demikian? Elite politik kita di semua tingkat, dan hampir tanpa kecuali, hanya siap mengisi kursi-kursi kekuasaan yang ditinggalkan oleh rezim Soeharto. Fenomena itu terlihat di lembaga legislatif pusat (DPR) dan daerah (DPRD) serta di lembaga eksekutif pusat dan daerah. Teriakan reformasi memang tumpah-ruah di media massa. Tapi, di luar liputan media, yang berlangsung adalah transaksi politik terselubung, yaitu soal siapa mendapat apa, berapa, dan bagaimana cara mendapatkannya secara "haram" dan instan. Pada akhirnya, agenda reformasi berhenti sebagai slogan, retorika, dan pidato berapi-api para politisi. Ketika para kuli disket serta juru foto dan kamera televisi meninggalkan arena peliputan, para politisi kembali ke "fitrah" oportunisme mereka dan menjadikan agenda reformasi sekadar sebagai alas kaki belaka.
Karena itu, persoalannya tidak terletak pada sifat dan cakupan dari reformasi, "total" ataupun "gradual", seperti diperdebatkan oleh Vedi R. Hadiz dan Saiful Mujani. Di satu pihak, Saiful Mujani benar bahwa konsep reformasi itu sendiri sebenarnya mengandung arti perubahan yang bersifat gradual. Di pihak lain, Vedi R. Hadiz juga benar bahwa reformasi sebenarnya sudah sekarat bahkan "mati" jauh sebelum Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Namun, menurut saya, "kematian" reformasi bukan karena para elite memilih reformasi gradual. Bukan pula karena para elite lebih memilih reformasi gradual ketimbang reformasi total karena hal itu yang dikehendaki masyarakat seperti keyakinan Saiful Mujani. Reformasi "mati" dan hanya menjadi agenda parlemen jalanan lebih karena para elite politik mendistorsikan pemahaman reformasi secara dangkal sekadar sebagai momentum sirkulasi kesempatan berkuasa bagi kelompok dan konco politik sendiri.
Masih segar dalam ingatan kita, sebelum dan sesudah Soeharto jatuh, para elite politik tak pernah sepakat mengenai agenda dan cakupan reformasi. Agenda reformasi justru disodorkan oleh mahasiswa. Para eksponen kampus pula yang "memaksa" Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Megawati, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X bertemu di Ciganjur dan menghasilkan "Deklarasi Ciganjur" yang sangat kompromistis itu. Kecenderungan yang sama terjadi pada partai-partai politik baru. Para pemimpin partai hanya "menumpang" kereta reformasi yang disediakan mahasiswa tanpa berusaha secara sungguh-sungguh menjadikannya agenda aksi bersama. Momentum reformasi hadir secara prematur sebelum para elite politik "siap mental" memikul beban dan tanggung jawab sebagai pemimpin yang bermoral, beradab, dan patut diteladankan karena tidak memperhambakan diri pada takhta, harta, serta kehormatan semu dan duniawi belaka.
Dalam konteks ini pula kita patut prihatin dengan gagasan percepatan sidang istimewa. Kualitas ide itu sama rendahnya dengan dua gagasan lain, yaitu pembubaran Partai Golkar dan pembubaran DPR melalui dekrit presiden. Atas nama apa pun, ketiga gagasan itu jelas-jelas bersifat pembodohan bagi masyarakat kita dan, karena itu, harus dipandang sebagai anomali dalam upaya kita untuk terus-menerus belajar menghormati proses demokrasi. Demokrasi bukan hanya tidak mengenal jalan pintas, tapi juga pertama-tama harus taat prosedur, tunduk kepada aturan, serta didasari semangat kerja sama dan sikap saling percaya di antara para elite. Kalau prosedur dilangkahi dan sikap saling percaya dinafikan, yang muncul kemudian adalah perilaku otoriter, pemaksaan kehendak, dan mau menang sendiri--cara-cara primitif yang kita tolak pada rezim Orde Baru Soeharto. Ironisnya, kecenderungan itu kini bukan saja terjadi pada elite Golkar, tapi juga pada hampir semua elite partai lain yang menepuk dada sebagai reformis.
Kalau hasil Pemilu 1999 disepakati sebagai dasar legitimasi bagi pemerintahan baru, segala produknya harus dihormati pula, termasuk keberadaan Golkar, DPR, serta mekanisme dan prosedur politik yang menyertainya. Maka, tuntutan pembubaran partai apa pun, termasuk Golkar, adalah sikap otoriter yang justru mengancam kehidupan demokrasi. Begitu pula ide pembubaran DPR melalui dekrit yang sempat dilontarkan Presiden Abdurrahman serta gagasan percepatan sidang istimewa, yang ironisnya justru dikemukakan oleh Ketua MPR Amien Rais, tokoh yang mestinya menjadi penjaga gawang agar semua pihak menghormati proses demokrasi.
Semua kemelut politik ini barangkali suatu proses transisi yang harus dialami bangsa kita sebagai dampak dari reformasi yang amat prematur. Akibatnya, lembaga-lembaga demokrasi yang kita tegakkan seperti partai, pemilu, parlemen, presiden, dan segala macam menjadi rangka-rangka kosong yang tak ada artinya karena tidak pernah diisi oleh manusia-manusia demokrat, arif, bijak, jujur, dan mau berkorban bagi sesamanya.
Walaupun benar bahwa Golkar mempunyai dosa-dosa besar yang tidak terampuni, keberadaannya sebagai partai produk Pemilu 1999--bahkan dengan tingkat dukungan yang besar--tetap harus dihormati. Kesalahan Golkar dan keberadaannya sebagai partai oportunis adalah dua soal yang terpisah. Keberadaan Golkar harus diakui secara jujur sebagai cermin dari sebagian wajah bangsa kita juga, yang cenderung mendahulukan kepentingan sempit dan sesaat ketimbang kepentingan bersama. Dalam hubungan dengan hal ini, yang patut disesalkan adalah perselingkuhan politik para elite partai baru dengan Golkar dan tentara, sehingga kalaupun kini skenario politik Golkar yang lebih unggul, itu karena politisi non-Golkar gagal menjadi diri mereka sendiri.
Karena itu, jika pada akhirnya para pemimpin kita menjadikan takhta, harta, dan kehormatan duniawi sebagai berhala-berhala baru, haruskah kita bertanya, mengapa krisis demi krisis, bencana demi bencana, masih terus menyertai perjalanan kita sebagai bangsa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini