Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Presidensialisme Berselang-seling

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Blair A. King *) *) Kandidat doktor ilmu politik di Ohio State University, AS MENGAPA saat ini kehidupan politik nasional Indonesia tidak stabil? Sudah banyak pengamat mencari penyebabnya pada tataran politis, yaitu adanya kekurangan pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan keinginan dari lawan politiknya untuk menjatuhkannya. Namun, itu hanya penyebab sekunder. Penyebab utama sebenarnya terletak pada tataran lembaga, yakni sampai saat ini belum jelas apakah Indonesia mau menganut sistem presidensial murni, parlementer murni, atau campuran. UUD 1945 dan Ketetapan MPR Nomor III Tahun 1978 telah membangun sistem campuran karena presiden dipilih secara tidak langsung dan boleh dipecat berdasarkan alasan politis (bukan hanya yudisial). Sekalipun pada akhir 1999 MPR telah menegaskan bahwa Indonesia hendaknya mempunyai sistem presidensial, Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945 belum membangun sistem tersebut secara murni. Pada dasarnya, tidak ada yang salah dalam sistem campuran. UUD Republik Kelima Prancis (1958-sekarang) telah membuat terobosan dengan membangun sistem "semi-presidensial" untuk mengawinkan kelebihan dari kedua sistem murni. Sayangnya, di Indonesia, sistem campuran yang dibangun oleh UUD 1945 beserta kedua perubahannya bukan menggabungkan kelebihan kedua sistem murni, melainkan malah mengawinkan hampir semua kekurangannya, yang terbukti dari kenyataan bahwa sistem kepartaian di Indonesia adalah multipartai. Ada tiga kekurangan dari sistem presidensial murni yang berlaku untuk sistem Indonesia saat ini. Pertama, ada kemungkinan cukup tinggi untuk menghasilkan pemerintahan yang terbelah (divided government): salah satu partai menguasai eksekutif melalui kursi presiden dan partai-partai lain menguasai legislatif. Keadaan ini, yang tidak mungkin muncul dalam sistem parlementer, sering mengakibatkan kebuntuan (deadlock) dalam sistem pemerintahan. Kedua, ada kekakuan dari segi waktu, yaitu masa jabatan yang pasti untuk presiden dan anggota DPR/MPR, yang mengakibatkan sistem politik menjadi kurang fleksibel dalam menanggapi perubahan. Kekurangan ini diperparah dengan kenyataan bahwa masa jabatan presiden tidak sepenuhnya pasti karena presiden dapat dimintai pertanggungjawaban oleh MPR dan dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya dengan alasan politis, tapi anggota DPR/MPR hanya bertanggung jawab kepada rakyat setiap lima tahun sekali. Ketiga, presiden adalah kepala eksekutif yang kurang inklusif karena, bagaimanapun, jabatan tersebut tidak dapat dibagi-bagi kepada beberapa partai. Lain halnya kabinet parlementer: sekalipun jabatan perdana menteri hanya dapat diisi oleh wakil dari satu partai, posisi menteri yang lain dapat dibagi oleh sebuah koalisi yang tetap bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam sistem Indonesia, kabinet Presiden Abdurrahman Wahid--termasuk yang pertama--tidak dapat disebut sebagai hasil koalisi karena tidak merupakan satu kesatuan yang bertanggung jawab kepada DPR. Ada dua kekurangan dari sistem parlementer murni yang berlaku untuk sistem Indonesia saat ini. Pertama, tingkat instabilitas eksekutif menjadi lebih tinggi. Dengan kemungkinan presiden dapat diturunkan di tengah masa jabatannya oleh sebuah badan legislatif (MPR) atas alasan politis (bukan hanya yudisial), sistem di Indonesia mempunyai ciri parlementer di mana tidak ada masa jabatan eksekutif yang pasti. Kedua, sebagaimana halnya sistem parlementer murni, sistem di Indonesia kurang demokratis karena kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara tidak langsung oleh MPR. Salah satu ciri pokok sistem presidensial murni adalah presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Dari semua kelebihan sistem presidensial murni, hanya ada satu yang berlaku untuk sistem Indonesia saat ini, yaitu kekuasaan pemerintahan menjadi lebih terbatas karena ada pemisahan kekuasaan (separation of powers) antara eksekutif dan legislatif. Dengan semua kekurangan di atas, Giovanni Sartori, profesor ilmu politik berkebangsaan Italia yang sekarang mengajar di Columbia University, Amerika Serikat, menawarkan alternatif menarik untuk bangsa yang majemuk dan multipartai seperti Indonesia, yaitu "presidensialisme berselang-seling" (alternating presidentialism). Sistem tersebut mempunyai kemungkinan berganti antara fase parlementer dan fase presidensial dalam satu masa jabatan lima tahun. Alternatif tersebut ditawarkan dalam buku Sartori yang terbaru, berjudul Comparative Constitutional Engineering. Sistem "presidensial berseling-seling" punya beberapa ciri pokok. Pertama, ada masa jabatan tertentu dan waktunya sama (lima tahun) untuk presiden dan DPR. Kedua, baik presiden maupun DPR dipilih secara langsung oleh rakyat, dan presiden harus dipilih melalui sistem yang menghasilkan mayoritas mutlak (50 persen + 1). Ketiga, pada setiap awal masa jabatan lima tahun, sistem politik berjalan dengan sistem parlementer murni: presiden hanya bertindak sebagai kepala negara yang simbolis dan DPR memilih seorang perdana menteri (PM) sebagai kepala pemerintahan. Namun, DPR hanya boleh memilih maksimal dua PM dalam masa jabatan lima tahun. Keempat, seandainya baik PM pertama maupun kedua sudah jatuh melalui mosi tidak percaya di DPR, sistem politik berubah seketika menjadi sistem presidensial murni untuk sisa masa jabatan lima tahun. Presiden tidak hanya bertindak sebagai kepala negara yang simbolis, tapi juga sebagai kepala pemerintahan yang politis. Dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan tersebut, presiden memilih anggota kabinet sendiri (dan tidak bergantung pada dukungan mayoritas suara di DPR). Karena sistemnya adalah presidensial murni, tidak boleh ada pemecatan (impeachment) presiden berdasarkan pertimbangan politis. Kelima, anggota DPR tidak boleh menjadi menteri pada kabinet presidensial, walaupun mereka mundur sebagai anggota DPR. Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sebuah "konspirasi DPR" untuk menjatuhkan dua PM dan mengakhiri fase parlementer. Di samping itu, menurut Sartori, larangan tersebut membuka kemungkinan yang lebih tinggi bagi orang nonpartai (teknokrat) untuk masuk ke kabinet presidensial, yang bisa membawa pemikiran dan kebijakan yang segar ke dalam pemerintahan. Keenam, wewenang presiden pada fase parlementer harus sangat terbatas pada fungsi-fungsi simbolis sebagai kepala negara. Aturan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sebuah "konspirasi presiden" untuk mengakhiri fase parlementer. Namun, pada sisi lain, wewenang presiden pada fase presidensial harus cukup besar, supaya pemerintahan dapat berjalan secara efektif. Ketujuh, pemilihan kembali presiden tidak perlu dibatasi. Sebab, "perselang-selingan" sistem ini menghindari kemungkinan seorang presiden menjadi otoriter. Bagaimanapun, setiap lima tahun, sistem ini kembali menjadi parlementer untuk awal masa jabatan berikutnya. Tiadanya larangan untuk dipilih kembali dimaksudkan untuk menghargai presiden yang baik. Menurut Sartori, sistem presidensialisme berselang-seling dapat dipadukan dengan berbagai macam sistem pemilihan untuk DPR dan presiden (asalkan presiden dipilih secara langsung). Dengan demikian, keinginan berbagai pihak di Indonesia atas sistem distrik ataupun sistem proporsional untuk pemilihan anggota DPR dapat diakomodasikan dalam sistem tersebut. Presidensialisme berselang-seling mempunyai semua kelebihan yang dimiliki oleh semi-presidensialisme di Prancis saat ini. Pertama, seperti halnya parlementarisme, sistem ini lebih fleksibel dari segi waktu. Kedua, dalam fase parlementer, eksekutif menjadi lebih inklusif. Ketiga, seperti halnya pada presidensialisme, stabilitas eksekutif menjadi lebih tinggi. Keempat, pada fase presidensial, sistem ini lebih demokratis karena kepala pemerintahan dipilih secara langsung. Kelima, pada fase presidensial, kekuasaan pemerintahan menjadi lebih terbatas karena ada pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Kekurangan utama dari semi-presidensialisme, yakni masih ada kemungkinan menghasilkan pemerintahan yang terbelah, tidak mungkin terjadi pada fase parlementer, tapi tetap ada pada sistem presidensialisme berselang-seling. Perbedaannya adalah tanggung jawab atas keadaan tersebut bukan berada di tangan rakyat, melainkan di tangan DPR yang bisa menjatuhkan PM dua kali (dan dengan demikian bisa dihindari pula oleh DPR). Dengan kata lain, sistem presidensialisme berselang-seling mengawinkan fleksibilitas dari sistem parlementer dengan disiplin dari sistem presidensial. Masalahnya, sistem tersebut belum pernah dicoba diterapkan di negara mana pun di dunia. Apakah Indonesia mau membuat terobosan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus