Ben Perkasa Drajat *)
*) Lulusan Universitas Hiroshima, Jepang, bidang international political economy
RESMILAH sudah Indonesia menyandang status negara miskin. Pendapatan per kapita Indonesia saat ini US$ 580. Produk domestik bruto (PDB) tahun 2000 menyusut setengahnya dari prakrisis, menjadi US$ 144 miliar dengan jumlah penduduk 207 juta. Batas negara miskin dan menengah menurut standar baku Bank Dunia adalah US$ 650. Sebelum krisis, di tahun 1996, pendapatan per kapita kita tercatat US$ 1.150, dengan perincian PDB US$ 227,3 miliar dibagi jumlah penduduk 198,2 juta. Waktu itu, Indonesia tergolong dalam middle income countries pada sub-kategori middle income golongan menengah.
Penurunan drastis status Indonesia ini ternyata mengubah posisi politik Bank Dunia terhadap Indonesia, sebagaimana diumumkan Kepala Perwakilan Bank Dunia, Mark Baird, di Washington, 29 Januari 2001. Perubahan pertama dalam hal nilai pinjaman. Sejak tahun 2001, Bank Dunia akan memangkas bantuan tahunannya kepada Indonesia, dari sekitar US$ 1,3 miliar, yang merupakan angka rata-rata di tahun 1990-an, menjadi hanya US$ 400 juta. Perubahan kedua, sebagai pengganti Bank Dunia, Indonesia diproyeksikan menerima skema International Development Agency (IDA). Pinjaman IDA bersifat konsensional tanpa bunga, berjangka waktu hingga 30-40 tahun, dan pihak debitor dikenai access charge hampir nol. IDA adalah skema utang luar negeri bagi negara-negara miskin.
Perubahan ketiga, selain penilaian substansi proyek, kesinambungan pinjaman Bank Dunia akan dipatok berdasarkan parameter kemajuan yang dicapai Indonesia dalam penerapan reformasi fiskal, finansial, dan peradilan, sebagaimana tercakup dalam LoI (letter of intent) RI-IMF. Akibatnya segera terlihat. Karena IMF menilai Indonesia tidak mampu memenuhi jadwal-jadwal LoI, pencairan pinjaman IMF tahap ketiga senilai US$ 400 juta, sebagai bagian dari paket US$ 5 miliar untuk tiga tahun (2000-2003), kini terkatung-katung. IMF menganggap Indonesia belum memenuhi sejumlah aspek kunci yang digariskan dalam LoI, yakni pembentukan bank sentral yang independen dan kuat, penanganan kredit macet melalui BPPN, desentralisas wewenang pusat ke daerah, dan penuntasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Reposisi politik Bank Dunia kepada Indonesia ini memberi dampak lanjutan. Belakangan tersiar tanda-tanda bahwa salah satu donor utama RI yang lain, yakni Bank Pembangunan Asia (ADB), telah mengambil ancang-ancang akan mengikuti sikap Bank Dunia memotong utangnya bagi Indonesia. Padahal, dalam kerangka Consultative Group on Indonesia (CGI), Indonesia hanya punya empat sumber utama kreditor, yakni Bank Dunia, IMF, ADB, dan Jepang. Di luar itu, komitmen bilateral lain sangat kecil, hanya sekitar US$ 100 juta, termasuk komitmen bilateral Amerika Serikat.
Selama ini, dalam CGI, Indonesia berhasil menuai utang baru sekitar US$ 5 miliar per tahunnya. Jepang selalu menjadi donor terbesar. Pada tahun 2001, komitmennya senilai US$ 1,5 miliar. Jika ADB dan IMF melakukan pemotongan dalam jumlah setara Bank Dunia (US$ 1 miliar), tahun depan jumlah utang baru Indonesia akan benar-benar turun menjadi setengah dari biasanya, yakni US$ 2,5 miliar-US$ 3 miliar. Angka proyeksi total komitmen para donor tahun 2002 ini pun bisa lebih rendah lagi jika Jepang terpengaruh untuk mengurangi pinjamannya kepada Indonesia.
Dalam konteks politik utang, kita melihat adanya standar ganda Bank Dunia dan IMF. Di masa Orde Baru, lembaga donor internasional begitu antusias menyirami pemerintah Indonesia dengan dana pinjaman dalam jumlah besar. Sasaran kepentingan jangka pendek Bank Dunia bertemu dengan pragmatisme visi elite Orde Baru. Saat itu, Bank Dunia dan IMF menutup mata atas implikasi dan distorsi sosial yang terjadi di proyek-proyek mereka, termasuk dalam kasus kontroversial pembangunan waduk Kedungombo. Bank Dunia, IMF, dan ADB senantiasa menyanjung model pembangunan ekonomi Indonesia. Pujian sukses Orde Baru divalidasi dalam terbitan Bank Dunia: The East Asian Miracle (1993). Tak ada satu pun kritik mereka terhadap Orde Baru.
Kini, ketika malfunction mekanisme globalisasi kapitalisme meluluhlantakkan kehidupan bangsa Indonesia?sehingga kita terpuruk dalam kubangan krisis ekonomi dan kini kembali berstatus "negara miskin"?kenapa justru kita ditinggalkan? Lebih heran lagi, kini mereka menjadi super-kritis dan mengkritik tajam kebijakan ekonomi pemerintah baru, yang notabene lahir dari proses demokrasi yang valid, sahih, bersih, dan sah.
Padahal, sebagai bagian integral dari institusi kapitalisme global, Bank Dunia dan IMF secara moral semestinya turut bertanggung jawab atas pengentasan krisis Indonesia. Argumen resmi Bank Dunia dan IMF yang menyatakan sebagai pendukung demokratisasi dan hak asasi manusia ternyata hanya slogan. Terbukti, ketika dihadapkan pada pilihan prospek pertumbuhan ekonomi atau demokratisasi, mereka lebih mendukung otoritarianisme Orde Baru daripada rezim demokrasi RI.
Pengurangan drastis utang Bank Dunia ini seyogianya disikapi oleh pemerintah RI secara tepat-sasaran. Caranya, pertama, pemerintah perlu lebih gigih memperjuangkan penghapusan sebagian utang luar negeri. Selama ini keraguan kita mendesakkan penghapusan utang adalah ketakutan bakal sulitnya mendapat pinjaman baru. Dengan pemotongan sepihak dari pihak donor ini, ketakutan itu sirna. Tanpa minta penghapusan, ternyata sulit juga memperoleh utang baru. Kedua, pembubaran keberadaan forum CGI. Jika Jepang jadi satu-satunya donor utama Indonesia, negosiasi bilateral akan lebih efektif. Tanpa peran Bank Dunia, IMF, dan ADB, tidak ada gunanya melanjutkan multilateralisme forum utang luar negeri. Ketiga, atas "pengkhianatan" Bank Dunia ini, tampaknya sudah saatnya pemerintah RI merevisi semua platform hubungannya dengan institusi liberalisasi ekonomi global seperti WTO dan APEC.
Sulit disangkal bahwa timbunan utang adalah satu isu terkrusial bangsa ini. Jika dianalogikan sebagai sebuah perseroan?dengan rasio PDB atas utang mendekati 100 persen?Indonesia sudah layak dinyatakan bangkrut. Bila diambil hikmahnya, langkah sepihak Bank Dunia, IMF, dan ADB ini lebih banyak positifnya. Jika tidak diambil keputusan drastis dan radikal memotong utang, lingkaran setan ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri akan kian parah. Satu hal yang agak menyesakkan ialah kenapa inisatif pengurangan drastis ini justru muncul dari luar, bukan atas kesadaran pihak Indonesia sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini