Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sharon dan Perdamaian

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Riza Sihbudi *) *) Ketua Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), Jakarta TERPILIHNYA tokoh garis keras dan pemimpin Partai Likud, Ariel Sharon, dalam pemilihan Perdana Menteri Israel, 6 Februari 2001, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Dalam berbagai jajak pendapat sebelum pemilu, Sharon memang selalu unggul. Bahkan, keunggulan Sharon pernah mencapai sekitar 20 persen. Yang cukup mengejutkan adalah kekalahan sangat telak kandidat Partai Buruh, Ehud Barak. Dalam pemilu yang diadakan di tengah maraknya "Intifadah Al-Aqsha" itu, Sharon mengantongi suara pemilih sekitar 62,5 persen, sementara Barak hanya mendapat 37,5 persen suara. Ini dipandang sebagai kekalahan paling telak yang pernah dialami kandidat Buruh dalam sejarah Israel. Padahal, saat itu, resminya Barak masih menjabat sebagai perdana menteri. Karena itu, Barak pun segera mendapat kritikan tajam dari para pendukungnya dan dituntut untuk mundur dari jabatannya sebagai Ketua Partai Buruh. Kemenangan Sharon tidak hanya membangkitkan kekecewaan di kalangan pendukung Barak dan Partai Buruh, tapi juga menimbulkan kemarahan di kalangan warga Palestina di daerah-daerah pendudukan. Aksi kekerasan yang dipicu tindakan provokatif Sharon sewaktu mendatangi kawasan Masjid Al-Aqsha, 28 September tahun silam, bukannya mereda, malah semakin meningkat. Para pemuka Arab pun menyikapi kemenangan Sharon dengan rasa waswas. Dalam pertemuan para menteri luar negeri Liga Arab di Amman (Yordania), 11 Februari 2001, misalnya, mereka memberikan "peringatan keras" kepada Sharon agar sungguh-sungguh mengupayakan perdamaian dengan Palestina. Pasalnya, beberapa saat sebelumnya, Sharon dengan sesumbar mengatakan dirinya tidak terikat dengan hasil perundingan Palestina-Israel yang pernah dicapai pada era Barak. Bagi Liga Arab, jalan menuju perdamaian Timur Tengah hanya bisa terwujud jika Sharon menaati apa yang sudah disepakati bersama, baik dalam Konferensi Madrid (1991), Kesepakatan Oslo I (1993) dan II (1995), Kesepakatan Wye River (1998), maupun semua resolusi PBB yang berkaitan dengan masalah konflik Arab-Israel. Karena itu, Liga Arab sudah sepakat mengambil langkah tegas terhadap setiap kebijakan Sharon yang dinilai mengancam perdamaian. Dunia internasional umumnya memiliki sikap serupa dengan Liga Arab. Ini berkaitan dengan reputasi Sharon, yang mendapat berbagai julukan: "tukang jagal", "buldozer", dan sebagainya. Kisah keterlibatan Sharon dalam berbagai aksi "pembantaian" terhadap warga Palestina, seperti invasi Israel ke Lebanon dan tragedi Sabra-Shatila (1982), sudah bukan rahasia lagi. Ia pun tidak pernah menutupi kebenciannya yang amat dalam terhadap warga Palestina dan Arab. Karena itu, banyak analis yang menganggap kemenangan Sharon sebagai "mimpi buruk" bagi Palestina, Arab, bahkan bagi prospek perdamaian di kawasan Timur Tengah secara keseluruhan. Tapi, sebenarnya, masih ada peluang?kendati mungkin kecil?bagi berlanjutnya proses perdamaian Timur Tengah pasca-kemenangan Sharon. Sekurang-kurangnya ada tiga faktor yang dapat mendukung asumsi ini. Pertama, sejarah telah membuktikan bahwa kesepakatan damai antara Arab dan Israel pernah terjadi ketika Tel Aviv justru dikendalikan tokoh garis keras dari Partai Likud. Perjanjian Camp David (1978) terwujud justru ketika Menachem Begin (dari Partai Likud) menduduki kursi PM Israel. Begin pun waktu itu dikenal sebagai tokoh garis keras. Sebaliknya, tidak jarang ketika tokoh "moderat" dari Partai Buruh yang berkuasa, Israel malah gagal mencapai kesepakatan dengan pihak Arab/Palestina. Contoh paling aktual adalah kegagalan Ehud Barak. Padahal, ketika tampil sebagai PM Israel mengalahkan Benjamin Netanyahu, dua tahun silam, Barak dengan gencar mengangkat isu perdamaian dan menganggap dirinya sebagai semacam "titisan" Yitzhak Rabin (PM Israel yang dibunuh karena berdamai dengan Palestina). Kedua, faktor Amerika Serikat. Tidak bisa dimungkiri, selama ini AS memegang peranan penting bagi berlangsungnya proses perdamaian Arab-Israel. Tel Aviv pun secara ekonomi dan militer sangat bergantung pada Washington. Di sisi lain, sebagian besar negara industri sekutu AS sangat bergantung pada minyak Arab. Apalagi, AS kini dipimpin oleh George W. Bush, yang ayahnya (Bush Senior) dianggap sebagai "sekutu" oleh sebagian besar pemimpin Arab karena dianggap "berjasa" mengusir Irak dari Kuwait (1991). Mantan kepala staf gabungan pasukan sekutu dalam Perang Kuwait, Colin Powell, yang kini menjadi Menteri Luar Negeri AS, juga dikenal dekat dengan para pemimpin Arab. Powell bahkan sudah menjadikan kawasan Timur Tengah sebagai prioritas utama kunjungan luar negerinya. Karena itu, kecil kemungkinan Washington akan membiarkan kawasan Timur Tengah kembali terjerumus dalam konflik bersenjata dalam skala besar hanya lantaran ulah seorang Sharon. Ketiga, kendati Sharon meraih suara cukup meyakinkan dalam pemilu yang baru lalu, ia diramalkan tidak akan dengan mudah menjalankan roda pemerintahannya. Artinya, banyak kalangan yang percaya usia pemerintahan Sharon tidak akan lebih lama dibandingkan dengan pemerintahan Barak. Selain usia Sharon sendiri sudah 73 tahun?diperkirakan ia akan lebih banyak menyerahkan kewenangan kepada anaknya, Omriel Sharon?secara politik pun ia dinilai lemah, terutama lantaran adanya friksi yang cukup tajam di tubuh Partai Likud, antara kubu Sharon dan kubu Netanyahu. Karena itu, tidak mengherankan jika Sharon begitu ngotot membentuk pemerintahan "persatuan nasional" dengan mengajak Partai Buruh. Perundingan dengan kubu Buruh memang tengah berlangsung. Namun, menurut Wali Kota Yerusalem, Ehud Olmert, yang menjadi anggota tim perunding kubu Likud, cukup besar kans untuk tercapainya koalisi Likud-Buruh (The Jerusalem Post, 13 Februari 2001). Pihak Likud konon sudah sepakat menyerahkan beberapa pos penting kabinet kepada pihak Buruh, antara lain pos menteri luar negeri. Dan salah satu kandidat kuat untuk jabatan menteri luar negeri adalah Shimon Peres, yang memiliki citra lumayan positif di mata Arab/Palestina. Peres sendiri sudah bertekad akan memperjuangkan berlanjutnya proses perdamaian dengan pihak Arab/Palestina. Jika asumsi di atas tidak terlalu meleset, akan terbuka peluang untuk dihidupkannya kembali proses perdamaian Arab-Israel. Asumsi bahwa jika Sharon menang pasti akan meletus perang di Timur Tengah adalah asumsi matematis. Begitu pula sebaliknya. Padahal, politik jelas bukan matematika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus