Arief Budiman
Pengamat Politik
Menjelang Pemilu 2004, kita diperkenalkan dengan istilah baru: "politikus busuk". Supaya lebih sopan, dipakai juga istilah "politikus hitam" atau "politikus tercela". Istilah ini dicetuskan dalam rangka kampanye, yang (terutama) dijalankan oleh Teten Masduki dan Faisal Basri.
Yang dimaksudkan sebagai politikus busuk adalah politikus yang pernah terlibat dalam kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, juga pelanggaran moral. Belakangan, Munir menambahkan kategori "politikus berdarah" untuk mereka yang pernah terlibat dalam urusan pemakaian kekerasan berdarah.
Lalu, mengapa para politikus busuk ini tidak langsung saja dibawa ke pengadilan? Ini bisa kita lakukan kalau politikus yang kita tuju memang sudah bisa dibuktikan korupsi atau melakukan pelanggaran lainnya. Banyak orang yang kita tahu telah melakukan korupsi dan pelanggaran, tapi tidak bisa dijaring oleh hukum karena secara teknis bukti-bukti kurang. Atau juga karena si politikus busuk punya kekuasaan yang besar sehingga ia bisa mempengaruhi lembaga pengadilan.
Kampanye politikus busuk tampaknya bisa dikenakan pada orang-orang yang diyakini tidak bersih tapi sukar dibuktikan ini. Kampanye ini dengan demikian merupakan gerakan politik, bukan gerakan hukum.
Menurut rencana, nama-nama politikus busuk akan diumumkan berikut daftar dosa mereka. Tujuannya adalah supaya masyarakat tahu siapa mereka sehingga, kalau mereka mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif, rakyat tidak memilihnya. Adanya pengumuman nama-nama ini jelas akan menambah efektivitas gerakan.
Tapi, lalu muncul masalah. Menurut teman-teman saya yang tahu hukum, kampanye seperti ini pun harus dilakukan secara sangat hati-hati kalau kita tidak mau dituntut telah mencemarkan nama baik orang lain. Orang yang bersalah, kalau belum ada keputusan pengadilan, tidak bisa dikatakan bersalah, apalagi dikampanyekan. Kampanye yang mengatakan bahwa seseorang korup atau melanggar hak asasi manusia, padahal kasusnya belum diproses melalui pengadilan, harus siap dengan kemungkinan penuntutan. Kabarnya, inilah kesulitan yang dihadapi oleh Teten, Faisal, dan teman-teman. Ada ide untuk mengumumkan hanya inisial nama politikus busuk tersebut. Tapi, apakah kiat ini juga membebaskan mereka dari tuntutan hukum?
Persoalan lain adalah masalah efektivitas kampanye ini. Seperti juga golput, yang dicetuskan pada tahun 1970-an, kampanye anti-politikus busuk merupakan gerakan moral. Sifatnya hanya mengimbau supaya rakyat tidak memilih politikus busuk, dan partai tidak memasang politikus busuk sebagai calon anggota legislatif mereka.
Sampai saat ini kita tahu bahwa budaya memilih di Indonesia masih diwarnai ikatan primordial. Mereka yang Sukarnois akan memilih PDIP karena yang memimpin partai ini adalah putri Bung Karno. Komunitas Nahdlatul Ulama akan memilih PKB. Sedangkan warga Muhammadiyah akan memilih PAN. Mereka yang dulu ikut Golkar akan memilih Partai Golkar untuk melanjutkan kesetiaannya. Perhitungan apakah partai yang mereka pilih dihuni oleh politikus busuk hanya merupakan pertimbangan sekunder yang mungkin hanya dipikirkan oleh pemilih terpelajar yang hidup di kota besar.
Atas dasar ini, kampanye anti-politikus busuk seperti halnya kampanye golput rasanya juga sangat terbatas efektivitasnya. Akan sulit dibayangkan bahwa partai-partai yang mencalonkan banyak politikus busuk akan berkurang suaranya dalam Pemilu 2004 mendatang. Soalnya, pemilih tradisional setiap partai merupakan pemilih setia yang sukar mengubah pilihannya atas pertimbangan yang rasional.
Bagaimanapun, adanya kampanye anti-politikus busuk ini merupakan sebuah kemajuan dalam proses perkembangan bangsa ini. Kampanye ini merupakan pendidikan politik bagi masyarakat. Juga, dibandingkan dengan golput, ia merupakan sebuah langkah maju.
Pada tahun 1970, golput dimulai sebagai gerakan yang menolak undang-undang pemilu yang tidak demokratis (karena undang-undang ini melarang munculnya partai yang tidak sehaluan dengan pemerintah). Pada saat ini, undang-undang pemilu yang ada cukup demokratis. Orang akan menjadi golput pada Pemilu 2004 atas dasar pertimbangan yang lain, yakni karena menganggap calon legislatif yang diajukan parpol tidak bermutu.
Nah, Gerakan Anti-Politisi Busuk juga didasarkan atas prinsip yang sama. Hanya, gerakan ini secara lebih rinci mengajak rakyat meneliti dulu para calon yang akan dipilihnya. Kalau ternyata memang semuanya "busuk", sebagai konsekuensinya mereka akan golput.
Dengan perkataan lain, mestinya ujung yang ekstrem dari kampanye Gerakan Anti-Politisi Busuk ini adalah kampanye golput.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini