Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Omicron memang bukan nama hantu. Omicron itu varian virus corona yang disebut paling berbahaya karena penularannya yang sangat cepat. Meski seperti hantu, sama-sama tak bisa dilihat dengan mata telanjang, keberadaan Omicron itu nyata. Berawal dari Afrika Selatan, lalu menyebar ke berbagai penjuru dunia. Pada akhir November lalu ditemukan di 11 negara. Esoknya, di awal Desember, sudah ada di 23 negara. Lalu di tetangga terdekat kita, Singapura, Papua Nugini, dan Australia, sudah dilaporkan kemunculannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Omicron belum mampir di Indonesia. Syukurlah. Tapi apa betul? Seperti halnya hantu, perdebatan ada dan tiadanya tak terhindarkan. Ada ahli epidemiologi yang yakin Omicron sudah masuk ke Indonesia. Hanya belum terdeteksi karena tes pelacakan sangat minim. Apalagi aturan karantina untuk kedatangan dari luar negeri pernah dilonggarkan. Dari awalnya satu minggu menjadi lima hari, kemudian tiga hari.
Pemerintah bertekad bulat agar Omicron tidak masuk ke negeri ini. Karena itu, dibuatlah aturan yang sangat ketat. Kedatangan dari luar negeri dibatasi. Kalaupun terpaksa ada yang nekat, seperti orang kita yang pulang dari luar negeri, diharuskan menjalani karantina berdurasi dua minggu. Perjalanan ke luar negeri dilarang. Hilir-mudik di dalam negeri juga dibatasi. Libur Natal dan tahun baru ditiadakan. Aparatur sipil negara dilarang cuti. Aturan ganjil-genap diberlakukan sampai di jalan tol yang berbayar. Omicron bukan hantu yang bisa disepelekan keberadaannya.
Tapi pemahaman itu tidak disetujui semua orang. Komponen pariwisata di Bali, bahkan disampaikan oleh hampir semua pemimpin asosiasi yang bergerak di bidang kepariwisataan, menolak pengetatan dengan alasan Omicron. Bali terpuruk luar biasa. Bandara sudah dibuka, tapi tak ada pesawat asing yang mendarat. Turis enggan datang karena karantina selama seminggu dianggap berlebihan. Saat masa karantina diciutkan cuma tiga hari, tiba-tiba muncul isu Omicron. Berantakan semua. Pembatasan turis asing kini berlaku secara nasional. Kalaupun ada turis yang datang, dikarantina dua minggu. Omicron pun bagai hantu, membuat turis domestik juga kena pembatasan. Karena itu, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3 ditolak di Bali.
Apa yang terjadi? Kita tidak berhasil menciptakan satu bahasa bagaimana menangkal Omicron yang sangat ganas ini. Omicron masih melekat dengan status “seolah-olah hantu”, antara muncul dan tidak. Kalau sudah jelas sulit menangkal masuknya virus ini, apalagi para ahli menyebutkan kemungkinan sudah ada di sini, kenapa pula PPKM level 3 baru diberlakukan tanggal 24 Desember, sehari sebelum Natal dan berakhir 2 Januari, sehari setelah tahun baru? Memangnya orang yang berkerumun sebelum atau sesudah rentang waktu itu tak diganggu Omicron? Adakah Omicron menunggu kidung Natal di gereja dan saat mercon diledakkan ke angkasa? Pegawai negeri dilarang cuti, sementara survei yang dilakukan Kementerian Perhubungan menyebutkan hampir 20 juta orang akan mudik dari Jakarta sebelum Natal.
Omicron, seperti halnya Covid-19, seharusnya tetap dilawan dengan semangat kebersamaan sebagaimana di awal-awal. Edukasi inilah yang diperlukan, bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa virus ini adalah musuh bersama. Konsekuensinya, apa pun yang dilakukan, harus dilakukan bersama-sama, suka maupun duka. Termasuk pendanaannya. Kalau konsentrasi dana difokuskan untuk mengatasi corona, ya, semua lembaga harus mengalah jika dananya dipotong. Demi berakhirnya pandemi. Sekarang, anggaran MPR dipotong untuk Covid-19, pimpinannya ngamuk-ngamuk sampai minta Menteri Keuangan dicopot.
Mari kita tegas dan bersatu. Virus corona dan variannya, seperti Omicron, bukan hantu yang (konon) bisa lucu. Ini virus mematikan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo