Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seiring dengan merosotnya harga gas di pasar dunia, pemerintah mestinya segera menurunkan harga jual elpiji di dalam negeri. Harga kontrak pembelian gas dari Saudi Aramco, yang jadi patokan harga internasional, turun 38 persen dibandingkan dengan Oktober lalu.
Tak mengherankan bila di sejumlah negara, rakyatnya kini bisa menikmati gas dengan harga lebih murah. Asosiasi pedagang gas di Filipina, misalnya, mulai pertengahan bulan ini menurunkan harga elpiji 10 persen per tabung. Tindakan serupa bisa dijumpai di negara-negara lain.
Bagi rakyat kecil, harga elpiji yang lebih murah tentu akan sangat membantu meringankan beban hidup. Pemangkasan harga elpiji—dan juga harga premium Rp 500 per liter—akan menguatkan daya beli mereka. Dalam situasi ekonomi yang lesu, meningkatnya daya beli masyarakat sangat berarti dalam mendorong bergeraknya sektor riil.
Turunnya harga elpiji juga dapat menggairahkan kembali semangat rakyat menjalankan program konversi energi. Stok tabung dan pasokan yang kontinu dengan harga lebih murah niscaya merupakan daya tarik bagi rumah tangga dan industri rakyat untuk memakai gas. Lingkungan pun lebih sehat.
Semua efek positif ini ternyata terhalang oleh sikap Pertamina yang menolak usul penurunan harga elpiji. Alasan mereka, harga wajar gas saat ini masih sekitar Rp 8.000 per kilogram. Harga itu sudah memasukkan biaya eks kilang, pabrikasi, pemasaran, margin agen, dan pajak pertambahan nilai. Jadi, dengan harga sekarang yang Rp 5.250 per kilogram, Pertamina masih menombok Rp 2.750 per kilogram. Harga gas baru bisa turun jika harga Aramco turun lebih banyak, begitu kata pejabat Pertamina.
Senada dengan itu, pemerintah—seperti diwakili Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro—juga menyatakan belum bisa memangkas harga elpiji. Ia beralasan, pemerintah masih perlu mencermati perkembangan nilai tukar rupiah dan besaran subsidi bahan bakar minyak di anggaran yang sudah melewati pagu Rp 126 triliun.
Argumen Pertamina tentang harga wajar gas itu perlu dikaji ulang. Biaya produksi gas Pertamina tak pernah diumumkan. Selama ini memang tak ada transparansi dalam kasus ini. Publik tak pernah bisa menilai kewajaran biaya lain-lain sebesar 45 persen yang ditanggung Pertamina selama ini. Lagi-lagi lantaran tak ada keterbukaan.
Hanya sayup-sayup terdengar: infrastruktur gas Pertamina begitu minim. Tangki penampung elpiji hanya ada di Balongan, Jawa Barat; dan Plumpang, Jakarta Utara, sehingga sering tak mampu menampung hasil produksi. Stasiun pengangkutan dan pengisian elpiji curah juga amat terbatas. Minimnya infrastruktur itu menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Inefisiensi itu tentu harus dikikis.
Menanggapi argumen fiskal Menteri Purnomo, untuk adilnya perlu pula dikemukakan potensi kerugian negara akibat kontrak penjualan gas ke luar negeri yang begitu buruk. Kita masih ingat, misalnya, kontrak penjualan gas Tangguh ke Cina yang hanya senilai US$ 2,6 per MMBtu. Seandainya kontrak dilakukan dengan teliti, tentu akan lebih banyak uang mengalir ke kantong pemerintah.
Jangan sampai rakyat harus membayar gas dengan harga mahal gara-gara inefisiensi Pertamina tak bisa ditekan. Jangan sampai pula konsumen lokal ”mensubsidi” pembeli luar negeri lantaran harus membeli gas dengan harga lebih mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo