Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Next Target

24 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM game Xbox atau PlayStation yang marak dimainkan anak-anak muda, ada istilah reload dan next target. Yang pertama merupakan perintah isi ulang peluru, yang berikutnya instruksi memilih target bidikan. Di layar muncul gambar lingkaran merah dengan tanda silang. Pemain siap menembak. Target yang kena tembak kontan buyar dari layar. Bila tembakan luput, target seakan tambah bertenaga, dari ujung layar berdatanganlah target-target lain dalam waktu cepat.

Sistem Administrasi Badan Hukum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bukanlah sebuah game. Tapi sistem layanan online yang diduga belepotan korupsi itu membuat Kejaksaan Agung bersiap reload dan membidik next target setelah tiga pejabat tinggi dijadikan tersangka. Siapa dia? Sejumlah pengakuan menunjuk bekas Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra—yang sekarang bersiap mencalonkan diri sebagai presiden.

Yusril merupakan Menteri Hukum dengan masa jabatan paling panjang. Ia menjadi Menteri Hukum dan Perundang-undangan pada akhir 1999 sampai 2001. Ia sempat dicopot Presiden Abdurrahman Wahid, tapi Megawati mengangkatnya kembali sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Selama hampir lima tahun itu ia gemar menciptakan proyek berbasis teknologi tinggi.

Di zamannya ada proyek foto paspor dan informasi keimigrasian yang butuh investasi besar. Nilai proyek ini tinggi lantaran dirancang terkoneksi dengan sistem informasi kejaksaan dan Mahkamah Agung. Meskipun investor Spanyol siap mengucurkan dana sekitar US$ 26 juta, Yusril menundanya dengan pertimbangan proyek itu rawan markup.

Ada lagi Automatic Fingerprint Identification System alias AFIS. Sungguh ini proyek strategis. Tujuannya membangun database pemohon paspor dan pendatang asing yang cita-citanya punya link dengan sistem administrasi penduduk Departemen Dalam Negeri itu. Pada 2004 saja dibutuhkan lebih dari Rp 18 miliar untuk proyek ini. Setelah Yusril diganti, AFIS sempat ditangani penyidik karena diduga bermasalah.

Bila ditengarai, ada pola yang sama dalam proyek itu. Mitra ditunjuk langsung, kalaupun ada tender sifatnya sangat terbatas. Perusahaan terpilih wajib bekerja sama dengan Koperasi Pengayoman milik departemen itu. Sistem Administrasi Badan Hukum yang mulai jalan pada 2001 juga berdiri dengan pola yang sama.

Mitra sesungguhnya tak diperlukan. Departemen Kehakiman bisa membangun sendiri proyek sekitar Rp 18 miliar itu dengan memasukkannya dalam rencana anggaran. Modal pasti kembali dalam waktu singkat. Selama tujuh tahun berjalan, sistem itu sudah meraup Rp 400 miliar, artinya lebih dari 20 kali lipat dari modalnya. Dan yang bikin kepala pusing, kontrak Departemen dengan perusahaan swasta—yaitu PT Sarana Rekatama Dinamika—berlangsung 10 tahun.

Sarana menikmati 90 persen hasil pungutan, empat persen untuk Koperasi Pengayoman dan enam persen jatah Direktorat Administrasi. Maka setiap bulan pejabat direktorat kebagian Rp 1,5-10 juta. Seperti bancakan, uang proyek itu dipakai membayar uang saku perjalanan istri petinggi Departemen, biaya seminar, sampai uang rapat membahas rancangan undang-undang.

Yang paling memberatkan Yusril adalah status uang pungutan dari para notaris itu. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 menyebutkan penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah termasuk kategori penerimaan negara bukan pajak. Pada 2003 audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyatakan Sistem Administrasi Badan Hukum tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997.

Reaksi Yusril boleh dibilang tidak memadai. Di blog pribadinya, ia memberikan jawaban yang agak membingungkan. Kata dia, penggunaan teknologi itu adalah kemudahan menuju pelayanan yang diberikan pemerintah, tapi bukan pelayanan itu sendiri. Tanggapannya terhadap saran Badan Pengawasan agar pungutan masuk kas negara juga terdengar kurang ”bijak”. Yusril mengatakan negara harus mengganti dulu investasi yang sudah dikeluarkan swasta dan baru membuat peraturan pemerintah untuk memasukkan pungutan itu sebagai penerimaan negara bukan pajak.

Padahal PT Sarana sudah menikmati untung begitu gede. Modal ditaksir sudah kembali pada tahun ketiga. Kontrak harus ditinjau ulang lantaran pungutan itu jelas hak negara. Karena itu, PT Sarana tak boleh lagi mengutip apa pun. Kejaksaan Agung perlu segera mengambil alih pengelolaan sistem yang memuat data konfidensial ribuan perusahaan Indonesia itu. Selama kasus berjalan, sistem bisa dijalankan lembaga negara yang independen.

Dengan kasus begini gamblang, Kejaksaan Agung semestinya bisa lebih bergegas. Tapi akurasi tetap perlu dijaga. Tembakan yang luput—seperti juga dalam PlayStation—akan membuat target seperti lebih bertenaga.…

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus