Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jika Ingin Indonesia Lebih Sehat

Percuma saja punya aturan antimerokok jika cuma melakukan ”razia simpatik”. Sosialisasi jangan kelewat lama.

24 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bayangkan. Anda di sebuah rumah sakit, dan melihat seorang remaja lelaki sekitar 17 tahun merokok di ruang tunggu, di antara pasien dewasa dan anak-anak yang tengah menunggu giliran. Anda memberanikan diri menegur sang perokok. Ada tiga kemungkinan yang terjadi: dia minta maaf dan menyingkir sekitar dua meter sembari tetap merokok, dia pura-pura tuli dan terus saja merokok, atau dia mengisap rokoknya dan menyemburkan asapnya ke wajah Anda.

Perokok di Indonesia memang bertabiat manja. Mereka menganggap ”hak asasi merokok”-nya dibatasi oleh manusia rewel di sekelilingnya. Mereka sama sekali tak merasa bersalah sudah menyumbang kotoran pada udara dan paru-paru orang di sekitarnya. Mereka menganggap merokok adalah sebuah hak yang tak terbantahkan.

Itulah sebabnya, Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Larangan Merokok di Tempat Umum (untuk perorangan) dan Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Larangan Merokok (untuk korporasi agar memberlakukan daerah larangan merokok di kantornya) sulit ditegakkan kembali. Peraturan itu seolah dibuat untuk gaya-gayaan saja, agar Jakarta terlihat sama seperti kota-kota lain di dunia yang mempunyai aturan bebas rokok. Dengan ancaman denda Rp 50 juta dan kurungan enam bulan bagi perokok yang tertangkap, pemerintah ingin terlihat serius membuat udara Jakarta sehat.

Kenyataannya, sejak Senin pekan lalu, pemerintah hanya memberlakukan apa yang disebut ”razia simpatik”. Mereka yang tertangkap merokok di tempat umum hanya diberi peringatan dan pengarahan, tanpa kena denda. Para pemilik mal, gedung, atau restoran hanya diminta menegur pengunjung yang merokok di tempat umum tersebut. Padahal usia peraturan ini sudah tiga tahun. Berapa tahun lagi warga Jakarta (dan kelak, seluruh Indonesia) harus diberi waktu untuk taat pada peraturan ini?

Rokok adalah urusan serius. Ini bukan hanya soal pencemaran udara, tetapi juga angka kematian. Data Lembaga Demografi Universitas Indonesia menunjukkan, setiap tahun sekitar 400 ribu orang Indonesia—lebih dari 1.000 orang sehari—yang meninggal akibat penyakit dari asap rokok. Perokok di Indonesia kebanyakan adalah pelajar dan mahasiswa. Sekitar 90 persen ditaksir menjadi pecandu sejak usia 15 tahun. Indonesia di urutan ketiga di dunia, setelah Cina dan India, soal jumlah perokok. Jumlah perokok remaja di sini tertinggi di Asia.

Profil perokok remaja itu membuat kita cemas. Usia pertama kali merokok sudah bergeser menjadi 5 sampai 9 tahun. Jadi, sosialisasi rasanya sudah cukup, sekarang waktunya pemerintah bertindak.

Memang peraturan daerah belaka tak cukup. Ada dua hal besar lain yang harus dilakukan. Pertama, Indonesia harus meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau dari Organisasi Kesehatan Dunia. Di lingkungan ASEAN, tinggal Indonesia yang belum meratifikasi konvensi yang mengatur perlindungan bagi publik dari dampak buruk tembakau itu. Dengan meratifikasi konvensi tersebut, pemerintah wajib mengikuti kebijakan pengendalian tembakau: menaikkan cukai rokok, menurunkan suplai tembakau, dan membantu pecandu yang ingin berhenti merokok.

Hal kedua, DPR sebaiknya memprioritaskan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Rokok dan Tembakau. Perlindungan terhadap publik, terutama anak-anak, mesti diletakkan di atas segalanya.

Larangan merokok di tempat umum bukan cuma urusan perebutan udara bersih, melainkan soal mempertahankan hidup warga dan generasi yang lebih sehat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus