Saya tidak mengenal Pak Harjono secara pribadi. Tapi, saya ingat pada sikapnya yang hangat ketika bertemu dalam penerbangan Jakarta-Manado beberapa tahun silam. Pembawaannya yang riang dan sigap menyambut uluran tangan perkenalan dari orang yang baru dikenalnya itu menunjukkan watak yang mau berkawan. Kalau kita sering berpergian lewat Halim Perdanakusuma, kita akan sering melihat orang tua itu dengan tas kecil yang dicangklongnya, atau membawa kopor kecil yang ditarik roda, duduk diam-diam di sudut ruangan menunggu penerbangan ke Bandung sambil mengisap sigaretnya. Di tengah gaya hidup yang glamour, penuh bedak, dan gincu, ia tampil sebagai seorang pelopor dari masa pascakemerdekaan. Atau, dalam istilah H.M. Laica Marzuki, S.H. (TEMPO, 1 Juni 1991, Komentar), "Orang yang bergumul pada garis terdepan kehidupan hukum dalam masyarakat." Potret hukum belum banyak bergeser dari kehidupan seorang pejuang. Dan orang tua itu, yang berjalan pelan-pelan menuju tangga pesawat terbang sambil menarik kopor di atas roda dorongnya, adalah potret dari pergaulan yang panjang cita-cita penegakan hukum. Sebagai manusia biasa, ia tak luput dari kelemahan. Tapi kita tetap menghormatinya. I.H. KENDENGAN Jalan Kyai Tapa No. 1 Jakarta Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini