KETIKA nama Prof. Dr. Juwono Sudarsono diumumkan sebagai Menteri Pertahanan, pekan lalu, tepuk tangan memang layak diberikan. Sebab, sudah begitu lama, hampir setengah abad, kebijakan pertahanan bangsa ini dimonopoli para jenderal, baik yang aktif maupun purnawirawan. Sebuah hal yang, di negara normal, sering diartikan sebagai indikasi keadaan darurat atau masa perang.
Maka, bila kita ingin menjadi negara normal, paradigma keadaan perang ini—yang menjadi pembenaran masuknya tentara ke berbagai struktur kekuasaan—yang paling penting untuk segera direformasi. Karena itu, masuknya lima jenderal yang lain ke posisi sipil di kabinet yang sama membuat tepuk tangan yang diberikan berkurang nilainya. Bukan karena kemampuan pribadi mereka diragukan, tapi itu menerbitkan citra ketidakrelaan pihak militer untuk melepas dominasinya di pemerintahan selama ini.
Apalagi posisi yang diambil itu memang bernilai strategis, baik dalam segi politik dan birokrasi, seperti di jajaran Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, maupun dalam penguasaan sumber daya alam dan proyek strategis, seperti Menteri Pertambangan dan Energi serta Menteri Perhubungan. Karena itu, dengan ditambah beredarnya isu bahwa pihak Cilangkap juga ingin mengambil alih RRI, segera saja muncul tudingan bahwa pihak militer sedang meletakkan fondasi kukuh untuk merebut kekuasaan bila memang dirasakan perlu.
Tudingan itu mungkin berlebihan, bahkan bisa saja mengada-ada. Namun, ada baiknya juga hal ini dicermati dalam wacana debat publik. Selain untuk mengingatkan Menteri Pertahanan yang baru agar tetap konsisten dengan upaya reformasi TNI dan Polri, juga untuk mendukung para jenderal yang sejalan dengan ide ini—yang cukup banyak jumlahnya dan semakin terdengar suaranya itu—dan sekaligus menangkal mereka yang masih bermimpi untuk kembali ke posisinya di masa lalu.
Selain itu, masuknya sipil menjadi Menteri Pertahanan hanyalah simbol dari proses demiliterisasi. Padahal, yang lebih dibutuhkan adalah mendekonstruksi proses militerisme yang sudah mencemari republik ini selama puluhan tahun. Akibatnya, cukup banyak tokoh sipil di masa lalu yang lebih parah penyakit militerismenya ketimbang para jenderal.
Kita tentu berharap, dan berdoa dengan sedikit cemas, bahwa Bung Juwono Sudarsono tidak mengidap penyakit ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini