MENYIMAK berita tentang perebutan harta warisan atau faroid (TEMPO, 21 November 1992, Hukum) saya berhenyak dan tertegun. Allahu Akbar! Itulah harta benda bisa merubah hubungan antara anak dengan orang tua, bapak dengan menantu, atau menantu dengan siapa pun. Hubungan mereka rusak karena masing-masing tidak mau menahan diri, mereka kurang memahami arti harta benda dan anak yatim. Terlepas dari pandangan hukum Islam atau Peraturan Astek, wahai kaum muslimin, ingatlah anak yatim itu. Janganlah menggerogoti harta mereka. Ingat akan masa depan mereka. Anak yatim itu pasti belum mengerti makna untuk mengurusi benda yang konon jumlahnya puluhan juta rupiah itu. Masa kini, banyak perebutan harta warisan memadukan hukum mana yang paling cocok dan paling sesuai. Mari kita simak sejenak. Tidak ada seorang istri pun yang mengharapkan suaminya yang pergi bekerja meninggal karena kecelakaan. Tapi sebagai pekerja, sang suami pasti mempunyai risiko celaka. Ternyata suami mendapat kecelakaan, istri sedih, anaknya jadi yatim, bapaknya pun (dan keluarganya pun) ikut kehilangan, lantas harta bendanya menjadi rebutan, diperkarakan. Mari, Mas, istigfar . . . istigfar . . .. Mari kita menyadari, rezeki (yang rutin, yang tidak rutin, yang terduga, dan yang tidak terduga) adalah datang dari Allah. Sadarlah, sebentar lagi kita akan menyusul dipanggil Tuhan. H. HARSONO HADISUMARDJO Fakultas Sastra Universitas Pakuan Bogor Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini