DI tengah ramainya anggapan bahwa kerukunan beragama belakangan ini terganggu, Nurcholish Madjid menawarkan konsep bergama yang "baru". Yakni beragama yang lapang dan penuh toleransi. Sebuah cara beragama yang lebih mendekati kesufian. Dengan kata lain, sebuah cara beragama yang melepaskan diri dari kekakuan organisasi. Ada kecenderungan, bila orientasi pada organisasi terlalu dipentingkan, seolah-olah muncul anggapan bahwa kebenaran dicapai begitu seseorang masuk ke dalam organisasi. Tentu, tawaran itu segera mendapatkan tanggapan banyak pihak. Ada yang bilang, Nurcholish seperti sedang menganjurkan penafian agama. Yang lain menyambutnya sebagai alternatif baru untuk menciptakan kerukunan beragama. Sebab, upaya berbagai pihak untuk menciptakan dan menjaga kerukunan hidup beragama sejak awal Orde Baru, selama ini selalu bocor di sana-sini. Memang, mencegah ketiadaan kebocoran sama sekali rasanya mustahil: dunia ini bukan surga, dan manusia bukan malaikat. Yang bisa dilakukan adalah memperkecil kemungkinan bocor itu. Dua hal itulah -- ramainya orang mempersoalkan kerukunan beragama dan tawaran Nurcholish -- yang membuat masalah ini tampaknya menarik untuk diangkat sebagai Laporan Utama. Cerita di bagian pertama tentang kasus-kasus yang menyebabkan banyak pihak merasa perlu mengimbaukan kembali kerukunan beragama. Tak mudah mendapatkan cerita ini, karena banyak pihak tak bersedia diwawancarai. Untunglah Menteri Agama Munawir Sjadzali memberikan wawancara yang cukup menjelaskan duduk soal sebenarnya. Petikan wawancara yang cukup panjang diletakkan di bagian pertama sebagai boks. Bagian kedua adalah pembahasan tentang tawaran Nurcholish. Bila selama ini kerukunan beragama selalu bisa bocor di sana-sini, siapa tahu dengan cara bergama yang "baru" ini kemungkinan bocor diperkecil. Akhirnya adalah sebuah sejarah upaya berbagai pihak sejak awal Orde Baru untuk menciptakan kerukunan beragama. Dari Mukti Ali, menteri agama di tahun 1970-an itu, sampai gagasan beberapa pemikir dari berbagai agama-agama untuk mengadakan dialog antariman -- bukan antaragama. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini