"JANJI Purwoto dan Amarullah" (TEMPO, 28 November 1992, Hukum) sangat menyengat naluri setiap insan hukum, karena di situ terselip pendapat. Itu pun berdasarkan analisa yang terbatas pada istilah "dapat": iJudicial reviewr bisa juga "tidak melalui kasasi". Analisa tersebut tidak tepat bila kita baca Pasal 31 (3) UU No. 14 Tahun 1985, yang menegaskan bahwa pernyataan tidak sahnya suatu peraturan perundang-undangan harus dengan "putusan" (vonis). Bagi MA, PTUN, atau penasehat hukum, makna istilah "putusan" tak perlu dijelaskan lagi, akan merupakan suatu tindakan opresif. Misalnya, bila MA nanti menuangkan judicial review terhadap executive act tersebut dalam bentuk "penetapan" (beschikking), review tersebut diminta melalui suatu introductief request, bukan melalui gugatan. Suatu terobosan, mungkin akan tetap sewenang-wenang, karena putusan (vonis) yang dimaksud oleh pasal 31 (3) tersebut bukan penetapan (beschikking). Dalam hubungan ini perlu dicatat, lembaga PK yang dianggap sebagai suatu terobosan oleh MA tidak lain daripada suatu penerapan belaka lembaga herzienin van arresten en vonnissen yang telah dikenal sejak 1848. Selain itu, istilah "fatwa" masih memerlukan penjelasan mengenai asal-muasalnya, karena UU Pokok Kehakiman dengan segala peraturan pelaksanaannya sesungguhnya hanya mengenal putusan dan penetapan. J.Z. LOUDOE Jalan Penjernihan IV/11 Jakarta 10210
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini