Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberatan terhadap keharusan mengambil sidik jari santri, siswa pesantren, bukanlah hanya protes tanpa sebab yang mendasar. Bukan juga sekadar karena bersikap negatif pada usaha Kepolisian RI (Polri) memerangi terorisme, seperti dikhawatirkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Terorisme memang harus dilawan dan dipatahkan sejak dari pangkal bertumbuhnya. Tapi tak perlu dilakukan dengan cara yang menimbulkan soal baru. Kesan diskriminasi, menyudutkan, terasa ketika baru-baru ini Polri dikabarkan berencana mengambil sidik jari hanya dari siswa pesantren.
Rencana mengambil hanya sidik jari santri dan tidak dari siswa sekolah lain, selain tak peka dari segi keadilan, sekaligus menunjukkan sikap apriori. Bisa dimengerti jika kalangan pengasuh pesantren tak rela jadi korban prasangka yang dirasakan berlebihan itu. Tak bisa disangkal bahwa ternyata banyak teroris bom bunuh diri kelompok Azahari dan Noor Din M. Top direkrut dari mereka yang pernah dididik di pesantren. Namun itu dianggap bukan alasan untuk langsung menempatkan semua pesantren sebagai obyek kecurigaan umum. Inilah yang dirasa berlebihan.
Persoalan mengatasi aksi terorisme memang tak mudah. Teror bom bunuh diri bukan kejahatan biasa. Cara mencegahnya ialah dengan membongkar dan membekuk kelompok teroris sebelum bom sempat diledakkan. Pada jenis kejahatan lain, penjahat hanya bisa ditangkap setelah tindak pidana dilakukan. Kalau cara itu dipakai menghadapi terorisme, berarti korban besar akan jatuh lebih dulu. Ini yang tak bisa diterima. Dengan alasan ini perang melawan terorisme haruslah menggunakan cara pencegahan luar biasa, termasuk membenarkan pemakaian teknik yang bersifat represif.
Sampai sejauh mana pembenaran bisa diberikan pada langkah repressive prevention? Di mana batasnya, sementara terorisme tak mengenal batas dalam melakukan aksinya? Pertimbangan juga harus diberikan kepada daya guna serta mutlak-tidaknya langkah yang perlu diambil. Pemerintah mesti bisa memilih mana yang mutlak dibutuhkan dan mana yang relatif sifatnya. Pengambilan sidik jari santri tak akan membatalkan niat seseorang yang dirasuki fanatisme untuk menjadi pelaku bom bunuh diri. Jadi bukan prioritas mutlak.
Sebetulnya meminta sidik jari bukan soal yang terlalu luar biasa, karena itu masih termasuk data ciri-ciri pengenal seseorang. Tak bedanya dengan minta potret atau mengisi daftar riwayat hidup, golongan darah, untuk melengkapi dokumen identitas setiap warga. Hal itu memang diperlukan untuk pengendalian kehidupan bermasyarakat. Yang harus dijaga ialah agar negara kita tidak menjurus jadi negara polisi, di mana semua gerak-gerik dikendalikan, diawasi setiap saat. Kebebasan pribadi jadi terkekang.
Sebaliknya, apakah demi kemewahan bebas dari rasa dikungkung dan diawasi, kita bersedia memikul risiko membiarkan teroris berkeliaran mencari pengikut dan melakukan pengeboman seenaknya saja? Tentu tidak juga. Tapi kewajiban melengkapi identitas dan pengawasan jangan hanya ditujukan pada segolongan orang, karena itu adalah diskriminasi berdasarkan prasangka golongan yang tak dibenarkan hukum dan melanggar asas keadilan.
Syukurlah, Kepala Polri menyatakan—sesudah protes disuarakan—bahwa polisi tak punya kebijakan mengambil sidik jari para santri saja. Jika nanti ada pengambilan sidik jari, itu dilakukan lewat program pembuatan ”nomor identitas tunggal”—semacam kartu penduduk nasional—bagi setiap warga negara. Inilah yang benar, dan persoalan diskriminasi pun bisa terselesaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo