Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HEBOH masuknya beras impor tanpa kejelasan izin, yang memicu saling tuding antar-instansi pemerintah, adalah bagian kecil dari kesimpang-siuran kebijakan pemerintah tentang bahan pangan utama itu.
Tentang beras impor yang dimuat dengan kapal asing itu sendiri sekarang diurus Dewan Perwakilan Rakyat. Perum Bulog akan ditanya lebih detail soal ini. Satu soal diharapkan segera beres, tapi kebijakan pemerintah perlu dibereskan.
Koordinasi antara Bulog, Departemen Perdagangan, dan Departemen Pertanian harus dibuat sinkron. Urusan beras ini merupakan tugas Menteri Koordinator Perekonomian yang baru, yang merupakan warisan pejabat lama yang tertinggal. Di sidang kabinet, presiden perlu membuat keputusan yang tegas. Setelah sidang kabinet memutuskan, semestinya tak boleh lagi terjadi saling lempar tudingan antar-pejabat seperti yang selama ini terjadi.
Sebaiknya semua pejabat dan menteri mulai bekerja dengan data yang sama. Langkah pertama adalah mengecek stok beras di gudang Bulog. Kalau benar persediaan kurang dari 1,1 juta ton, artinya persediaan sudah ”lampu kuning”. Kalau harga beras di pasar sudah melampaui Rp 3.500 sekilo untuk beras medium, ini juga sudah menunjukkan keadaan mulai gawat.
Selama ini, atas dasar batas stok yang 1,1 juta ton dan harga Rp 3.500 itu, Departemen Perdagangan mengeluarkan izin impor beras—yang berlaku untuk jumlah dan jangka waktu terbatas. Tapi, sebelum keran impor dibuka, semestinya pertimbangan Menteri Pertanian, yang dianggap paling tahu jumlah produksi beras dalam negeri, didengarkan.
Yang terjadi sekarang ini bukan seperti mekanisme tadi. Departemen Perdagangan, atas dasar data di tangannya dan tolok ukur yang sudah ditentukan, merasa sudah waktunya izin impor dikeluarkan. Maka, pertengahan November lalu, izin impor dikeluarkan Departemen Perdagangan untuk 70 ribu ton beras. Sebagai pelaksana impor ditunjuk Bulog dan sejumlah perusahaan. Departemen Pertanian punya data lain. Stok beras dalam negeri ditaksir masih ada tiga juta ton.
Silang pendapat itu kian menjadi-jadi setelah Bulog ikut menuding ada importir beras selain dirinya yang mencoba menyelundupkan beras di luar izin. Bulog menunjukkan bahwa selain dirinya ada 27 perusahaan dan tiga yayasan yang mengantongi izin impor.
Kerunyaman begini sesungguhnya tak perlu terjadi jika pemerintah benar-benar yakin bahwa ”kunci” gudang beras ada dalam kendalinya. Kalau benar ada surplus tiga juta ton beras di dalam negeri, seperti data Menteri Pertanian, apa salahnya pemerintah memutuskan untuk mengisi gudangnya dengan membeli beras dalam negeri?
Kendala yang ada, yaitu Bulog tak boleh membeli karena harga beras dalam negeri sudah di atas harga batas yang ditetapkan dalam Instruksi Presiden Nomor 2/2005, juga perlu dibereskan. Jika harga patokan pembelian Bulog dianggap terlalu rendah, sangat wajar harga itu dinaikkan. Jutaan petani yang hidup kembang-kempis bisa memperbaiki kesejahteraannya. Ini pilihan yang pantas. Selama satu dasawarsa terakhir, nilai tukar di tingkat petani pada semester pertama tahun ini menyentuh titik terendah.
Tapi seandainya opsi membeli beras dalam negeri sudah dipilih, dan tetap saja petani dan pedagang beras dalam negeri tidak menjual berasnya ke gudang Bulog, itu artinya data persediaan yang tiga juta ton itu diragukan kebenarannya. Dalam kondisi begitu, baru keran impor boleh dibuka.
Solusi yang sederhana, tapi perlu data tepercaya, dan kesediaan melepas kepentingan bisnis pihak mana pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo