Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bumerang Proyek Wisata Komodo

Pemerintah menganggap angin lalu rekomendasi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) atas proyek destinasi wisata super-premium Taman Nasional Pulau Komodo. Merusak lingkungan dan meminggirkan masyarakat.

5 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Ilustrasi: Kuswoyo
Perbesar
Ilustrasi: Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SIKAP ngotot pemerintah melanjutkan pembangunan kawasan wisata Pulau Komodo tidak hanya membahayakan lingkungan, tapi juga meminggirkan masyarakat lokal. Setelah mengabaikan kritik dan penolakan organisasi pencinta lingkungan, pemerintah menganggap angin lalu rekomendasi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) atas proyek destinasi wisata super-premium tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dalam keputusan sidang ke-44 World Heritage Committee pada 16-31 Juli lalu, UNESCO meminta Indonesia menghentikan sementara pembangunan proyek wisata di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, itu. Alasannya, pembangunan infrastruktur pariwisata super-prioritas ini mengancam nilai universal luar biasa atau outstanding universal value (OUV) area konservasi alam tersebut. Kekhawatiran UNESCO beralasan. Kelangsungan hidup komodo, hewan langka yang ditetapkan sebagai warisan dunia, bisa terancam jika habitatnya berubah menjadi area pelancongan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

UNESCO menilai kelestarian area konservasi itu menurun karena luas zona rimba di Taman Nasional Komodo sudah diubah menjadi lahan konsesi industri pariwisata. Sejak lima tahun lalu, pemerintah memberikan konsesi seluas ratusan hektare untuk pengelolaan wisata berbasis alam (ecotourism) di sejumlah pulau di area Taman Nasional Komodo kepada beberapa perusahaan. Namun, menurut temuan Tempo, sejumlah dokumen dan kesaksian menunjukkan kejanggalan proses pemberian izin kepada mereka.

UNESCO juga menyoroti surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 13 Juli lalu, yang salah satu isinya menekankan bahwa pembangunan di kawasan taman nasional tidak memerlukan kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Temuan ini menunjukkan pemerintah tidak menghiraukan aspek kelestarian lingkungan dalam proyek tersebut. Tidak ada yang keliru dari ikhtiar memanfaatkan sumber daya untuk kepentingan ekonomi. Tapi konservasi alam tak boleh menjadi tumbal. Ada kesan, dalam proyek ini, pemerintah menganggap kelestarian lingkungan sebagai faktor kesekian ketimbang kepentingan ekonomi. Ini jelas konsep “pembangunan” (developmentalism) yang usang.

Sudah berkali-kali UNESCO memberi peringatan kepada pemerintah, termasuk meminta penjelasan soal perubahan peruntukan zonasi di Taman Nasional Komodo seluas 465,17 hektare. Pemerintah juga diminta menyampaikan informasi konsesi wisata di area konservasi itu, hingga menyerahkan revisi environmental impact assessment (EIA). Tapi pemerintah lebih senang berkelit. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, misalnya, menanggapi peringatan itu dengan penyangkalan bahwa pengembangan kawasan wisata komodo akan mempertimbangkan kelanjutan ekosistem hewan tersebut. Fakta yang terjadi justru sebaliknya.

Diabaikannya aspek kelestarian lingkungan dalam proyek ini menunjukkan sikap pemerintah yang kian pragmatis. Sikap ini sejalan dengan rezim izin berbasis risiko dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang memberi peluang bagi pemerintah dan investor untuk menarik-ulur syarat-syarat investasi. Hal ini pula yang disoroti UNESCO, bahwa ada peluang undang-undang ini digunakan sebagai justifikasi untuk mengizinkan pembangunan infrastruktur tanpa amdal yang memadai. Apa artinya pembangunan wisata premium berbasis ecotourism jika pertimbangan kelestarian justru dipinggirkan.

Perubahan zonasi taman nasional tentu berpotensi merusak keseimbangan ekosistem di sana. Ribuan komodo, burung liar, dan satwa lain terancam hidupnya akibat pengubahan habitat mereka secara sewenang-wenang. Bahkan warga lokal pun terancam menjadi korban. Pemerintah setempat kabarnya sudah memaksa masyarakat yang tinggal di sana untuk pindah ke tempat lain. Semestinya masyarakat dirangkul agar proyek ini memberi manfaat bagi mereka, bukan justru diperlakukan sebaliknya.

Salam kaprah pembangunan wisata di taman nasional ini, termasuk mengabaikan peringatan UNESCO, akan menjadi bumerang bagi pengembangan kawasan tersebut. Pemerintah semestinya sadar bahwa konsumen destinasi ecotourism adalah wisatawan yang sangat peka terhadap upaya perlindungan lingkungan. Diabaikannya rekomendasi UNESCO bakal memberikan impresi buruk dan mengganjal upaya pemerintah menarik wisatawan. Lembaga ini sewaktu-waktu bisa saja mencabut status Taman Nasional Pulau Komodo sebagai situs warisan dunia. Karena itu, sebelum semuanya terlambat, pemerintah harus menghentikan proyek tersebut.

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus