Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hipo

Dokter hipokrates dari yunani kuno bersumpah untuk membantu pasien sebaik-baiknya. tiap kali masuk rumah pasien hanyalah demi kesembuhan pasien. niat baik itu menjadikan hipokrates bapak dokter. (kl)

20 Oktober 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sekitar tahun 2400 SM (Sebelum Medika), dr. Hipokrates dari Yunani Kuno menyumpah-nyumpah. Ia menyumpah-nyumpah, karena sumpahnya yang terkenal itu disumpahi oleh dr. Hipokritikus sebagai sumpah palsu. Ini terjadi dalam sebuah muktamar IDYK (Ikatan Dokter Yunani Kuno), ketika Hipokritikus ingin menggantikan Hipokrates sebagai ketua umum dan menukar Sumpah Hipokrates dengan ciptaannya sendiri, Sumpah Hipokritis. Tetapi Zeus, ketua Dewan Dewa Yunani, merestui Hipokrates dan melarang beredarnya Sumpah Hipokritis. Maka, Hipokrates tetap pada kedudukannya, bahkan diangkat menjadi Bapak Kedokteran Seumur Hidup, dan Sumpah Hipokrates dikukuhkan sebagai asas tunggal semua partai dokter. Sedangkan Hipokritikus, sesuai dengan sumpahnya sendiri, pura-pura menerima keputusan, padahal gigih melakukan gerilya mentalitas selama puluhan abad. Akhirnya, lebih dari tiga milenia kemudian di tahun 2000-Plus, ia berhasil mendirikan IDIH (Ikatan Dokter Indonesia Hipokritis), sebuah organisasi tandingan IDI yang pada zaman itu sudah mulai atrofi. Suatu ketika IDIH menyelenggarakan semacam simposium anekdot, yang para pesertanya akan menceritakan peristiwa-penstiwa lucu dalam masyarakat dokter. Acara dipimpin sendiri oleh Hipokritikus, diikuti para sejawatnya, dokter-dokter lebih muda. Sebagai penampil pertama ditunjuk dr. Hipodermes. "Saya punya cerita lucu tentang seorang sejawat, teman setingkat dulu," buka Hipodermes mengulum gelak, ancang-ancang untuk lucu. "Dia mau spesialisasi penyembuhan inkonvensional. Pernah misalnya, untuk kasus kanker jantung dia memberi terapi oral dengan levertraan dan temulawak dalam dosis tinggi. Dengan meminumnya si penderita diharapkan akan muntah-muntah, dan bersama muntah itu sel kanker di jantung akan ikut keluar!" "Ha-ha," sambut Hipokritikus datar sekali. "Lalu?" Hipodermes jadi gelagapan. "Lalu-eh, lalu-yah, dia lantas dikecam dan diserang dari mana-mana." "Lalu?" ulang Hipokritikus tetap datar. "Di mana lucunya? Praktek terkun, kunter, kurten, kentur, atau apa kek, Yang lantas dibantai ramai-ramai, itu 'kan biasa, normal. Padahal, kaiau mau lucu, harus aneh, harus unik." Dengan pengarahan begini, Hipodermes memperbaiki diri dan bicara lagi, "O, ya, seorang sejawat lainnya, kakak kelas saya dulu, selalu melayani pasiennya dengan sabar. Dia telaten sekali memeriksa tiap pasien. Maka, waktunya terbuang-buang, dan mobilnya sampai sekarang juga tetap satu saja." Di kalangan peserta tawa mulai menyingsing, merangsang dr. Hipopotamus untuk tampil. "Paman saya pun dokter yang sifatnya juga konyol semacam itu," tuturnya. "Masa, dipanggil ke rumah pasien, dia mau saja bukannya si pasien yang dia suruh langsung ke rumah sakit. Malah pernah dipanggil pukul dua malam, diboncengkan sepeda motor, masuk gang becek, mau juga!" "Ya, saya juga kenal dia!" dr. Hipotetis nimbrung. "Padahal, kakak iparnya pernah menjadi pejabat teras di Depkes, dan ketika lulus dulu dia langsung mau ditempatkan di Ibu Kota dan langsung boleh ambil spesialisasi. Tapi dia menolak, dan memilih bertugas di puskesmas desa terpencil. Padahal, kalau mau di kota, dea juga sudah ditawari jadi dokter kontrak pengusaha obat." Gelak mulai membahana. Belum susut gemanya, Hipotetis, merasa mendapat angin, segera menambah, "Dan di desa itu, apa yang dia terima, coba? Sayuran! Buah-buahan! Maksimum telur ayam. Dan semua itu diterimanya dengan rela, laginya!" "Lumayan masih dibayar dengan telur," sela Hipodermes penasaran. "Dokter kakak kelas saya tadi, sudah dipanggil malam-malam mau, sering masih menolak dibayar pula! Hi-hi." "Itu pun masih mending," selonong dr. Hipotekus. "Dokter yang tetangga saya bukan hanya tidak dibayar. Bahkan suka kasih uang kepada pasien miskim untuk menebus resepnya. Menggelikan sekali!" Tawa dari segala nada makin riuh tanpa rendah. Hipokritikus sangat puas. Dan setelah gemuruh gelak menyurut, dia mengambil giliran penutup. "Segala tingkah badutan dokter-dokter aneh yang diceritakan tadi sebetulnya berakar pada satu orang saja, sejawat dari generasi saya dulu, Hipokrates. Pernah dengar nama Hipokrates?" Dokter-dokter itu cuma saling berpandangan. "Belum, Dok." Hipokritikus bertutur. "Ribuan tahun silam, ribuan kilometer dari sini, dia mengarang Sumpah Hipokrates yang lucu sekali. Antara lain diikrarkannya, dla hanya akan berpegangan pada aturan-aturan yang tujuannya demi kebaikan pasien, menjauhi yang bisa merugikannya. Tiap kali memasuki rumah penderita, semata-mata dilakukan demi kesembuhan si sakit. Malah dia bersumpah akan mengamalkan hidupnya dan ilmunya dengan suci dan murni, dan terkutuklah dirinya jika sampai melanggar .... " Keadaan tak terkendalikan. Bahak-bahak menggelegar. Hadirin terpingkal-pingkal sampai kehabisan suara, dengan tubuh sampai tertekuk-tekuk bahkan bergulung-gulung. Memang, tertawa itu sehat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus