SEBAGAIMANA telah dimaklumi si ujang dari Cibangkong itu, yang
terpenting dalam seni hidup ialah seni berhenti.
Dia menyebutnya 'istirahat' agar ada kesan bahwa dia itu makhluk
giat. Atau, kata 'semadi', sebuah kata yang kebetulan terdengar
dan tentunya diperhatikan si ujang dari Cibangkong.
Maka seperti biasa, duduklah si ujang di sana berpangku tangan,
dan ketika pak Kesawa lewat dan bertanya "lagi apa?", apa kata
jang Bangkong? "Lagi semadi pak!"
Semadi? Pak Kesawa agaknya terperanjat juga. Dia turunkan
pikulannya dan matanya jelas memeriksa si ujang. Ujang ini mimpi
atau ngaco atau apa?
+ Semadi apa . . . ! Hayo bekerja saja!
- Aduh, badan lagi capek dan lagi lembek kok. Tapi kalau mang
mau memikul saya . . .
+ Kamu itu sebetulnya tidak capek, tapi sekedar malas saja. Dan
kamu juga tidak lembek, tapi cuma malas. Saya kira kamu itu
maunya cuma dipikul saja terus sampai ke kahyangan.
- Aduh mamang ini kok tahu saja ah! Menurut pengumuman tuan Uban
saya ini sedang semadi lho!
+ Begini jang. Kamu ini melawan hukum alam. Segenap alam semesta
ini bergiat terus. Kalau mandek sebentar saja, bumi dan langit
dan semua bintang bakal runtuh dan hancur berantakan dan mang
tidak tahu apa nanti jadinya. Barangkali yang namanya alam bisa
hilang sama sekali . . . Wah, kalau mikir sampai sana mang jadi
pusing sendiri.
- Aeh aeh, mamang ini kok sok tahu ilmu alam saja. Saya ini
sekarang kok tidak apa-apa dan tidak runtuh padahal saya
berhenti?
+ Itu karena jantungmu dan lain-lain seperti bumi dan matahari
tidak berhenti dan tetap jalan terus.
- Ya siapa yang suruh! . . . Bukan saya yang suruh . . .
+ Ee ee, anak jaman sekarang kok ngomong seenak wudel saja ya!
Kalau si ujang kurang senang dengan hukum alam, sekarang juga
bisa dilawan. Pertama, kamu ambil saja pestol atau belati lantas
itu diarahkan dulu ke dada sebelah kiri, ya tentu saja dadamu
sendiri, lalu . . .
- Mamang kalau bicara jangan begitu ah . . . Saya ini tidak
salah apa-apa dan merasa tidak melawan apa-apa kok dituduh
melawan alam.
+ Dengar ini, jang. Kamu ini diadakan, dibikin ada, oleh
kegiatan. Waktu kamu masih nol dan belum punya bentuk sama
sekali, sudah ada kegiatan terus-menerus untuk membikin kamu.
Kelahiran seluruh alam raya ini juga didahului oleh kegiatan.
Nah, lantas kamu mulai punya bentuk, lalu kamu lahir, lalu
membesar dan seterusnya, dan itu karena adanya kegiatan yang
terus-menerus. Tidak ada yang mandek. Kamu ini diturunkan ke
bumi untuk bergiat terus-menerus . . .
- Waduh, badan bisa rusak dong mang!
+ Ee ee, jantungmu tidak rusak, padahal kembang-kempis
terus-menerus! Paru-parumu bergiat terus, darahmu terus-menerus
mengalir jutaan kilometer bolak-balik tanpa istirahat, tapi kok
tidak rusak. Kabarnya tiap atom pada badanmu juga
berpusing-pusing seperti tong setan di sirkus Tegallega, tapi
tanpa tidur.
- Aduh, jangan lari ke sana atuh mang! Saya ini apa tidak boleh
istirahat dan tidak boleh tidur?
+ Silakan tidur, mau sehari, mau sebulan, tapi kamu terus saja
bernafas. Jangan tanya siapa yang suruh. Dan kalau saya menyulut
mercon di kolong ranjangmu, maka ada semacam ronda malam di
tubuhmu yang menyuruh kamu cepat bangun. Jadi begini jang. Tidur
itu hukum alam, tapi bukan hukum malas. Jangan
dijungkir-balikkan jang.
- Lho, tahu saja tidak, bagaimana saya bisa
menjungkirbalikkannya?
+ Jangan pura-pura tidak tahu ya! Kamu tahu betul bahwa malas
itu melawan segala macam hukum di jagat raya ini. Kalau mau
malas, kamu tak usyah ya bikin kata-kata seperti shanthay dan
semadi dan sebagainya. Kamu ini bikin peraturan shanthay dan
tidur buat menguntungkan undang-undang permalasan, dan bukan
buat undang-undang kegiatan.
- Lho mamang sendiri sekarang lagi apa? Istirahat dan pidato
melulu !
+ Begini jang. Mamang ini mendapat tugas dari Prajapati supaya
bergiat terus-menerus. Memang hukumnya begitu jang. Nah, bergiat
itu bukannya cuma keliling kota dagang pisang saja. Ada kegiatan
badan dan kegiatan akal dan kegiatan rohani. Mamang boleh ambil
contoh Prabu Janaka dan ceuk Kartini dan kang Jimi Karteur yang
sedari kecil sudah dagang kacang dan sekarang jadi raja atau apa
itu . . .
- Giat terus-terusan mah capek atuh mang!
+ Katanya kalau mengikuti hukum alam saja pasti tidak bisa
capek.
- Walah walah! . . . Tidak bisa capek???
+ Ya betul. Seperti tong setan atom itu atau seperti Bumi yang
terus-menerus berputar atau seperti jantung yang tak-tok-tak-tok
terus-menerus biar si ujang lagi tidur . . .
- Jadi saya ini apa musti jadi tong setan supaya tidak capek?
+ Tunggu dulu dong cerita saya. Ujang bakal tidak capck asalkan
kegiatan ujang itu perlu, dan tidak menimbulkan tekanan hati
ujang dan tidak membikin jengkel mamang dan tidak merusak alam
dan sesuai dengan diri ujang. Nah, yang sesuai dengan mamang mah
dagang pisang. Mau beli pisang?
- Yang sesuai buat sayah mah kegiatan shanthaaay! !
+ Biar maumu begitu, tapi itu bukan maunya alam. Kamu itu mau
duduk-dudukan dan tidur-tiduran terus asal ada yang kerja di
dapur ya? asal ada yang jualan sayuran di pasar ya? asal
pengantar surat tetap mampir ke rumahmu ya? asal tiap hari dari
pagi sampai malam ada yang bikin koran ya? asal tiap hari ada
yang menyediakan beras ya? Bagaimana kalau mereka semua itu
disuruh tiduran saja seperti kamu?
- Lantas saya musti apa?
+ Ya itulah. Terus giat dalam menjamin keselarasan dan kemajuan
alam semesta termasuk si ujang sendiri, tapi jangan melulu buat
keenakan si ujang sendiri dong.
- Habis, buat keenakan siapa?
+ Coba pikir jang. Jantung ujang itu terus berdetak apa buat
keuntungan si jantung melulu? Apa si jantung itu untung? Apa dia
rugi?
- Apa ya . . .
+ Kegiatan jang. Sekali lagi kegiatan. Awas, pakai hukum alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini