Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hukum Buat Si Ujang

Sesuai dengan hukum alam, manusia harus selalu giat sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Dan sebaiknya giat itu bukan hanya untuk keuntungan sendiri.

11 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAIMANA telah dimaklumi si ujang dari Cibangkong itu, yang terpenting dalam seni hidup ialah seni berhenti. Dia menyebutnya 'istirahat' agar ada kesan bahwa dia itu makhluk giat. Atau, kata 'semadi', sebuah kata yang kebetulan terdengar dan tentunya diperhatikan si ujang dari Cibangkong. Maka seperti biasa, duduklah si ujang di sana berpangku tangan, dan ketika pak Kesawa lewat dan bertanya "lagi apa?", apa kata jang Bangkong? "Lagi semadi pak!" Semadi? Pak Kesawa agaknya terperanjat juga. Dia turunkan pikulannya dan matanya jelas memeriksa si ujang. Ujang ini mimpi atau ngaco atau apa? + Semadi apa . . . ! Hayo bekerja saja! - Aduh, badan lagi capek dan lagi lembek kok. Tapi kalau mang mau memikul saya . . . + Kamu itu sebetulnya tidak capek, tapi sekedar malas saja. Dan kamu juga tidak lembek, tapi cuma malas. Saya kira kamu itu maunya cuma dipikul saja terus sampai ke kahyangan. - Aduh mamang ini kok tahu saja ah! Menurut pengumuman tuan Uban saya ini sedang semadi lho! + Begini jang. Kamu ini melawan hukum alam. Segenap alam semesta ini bergiat terus. Kalau mandek sebentar saja, bumi dan langit dan semua bintang bakal runtuh dan hancur berantakan dan mang tidak tahu apa nanti jadinya. Barangkali yang namanya alam bisa hilang sama sekali . . . Wah, kalau mikir sampai sana mang jadi pusing sendiri. - Aeh aeh, mamang ini kok sok tahu ilmu alam saja. Saya ini sekarang kok tidak apa-apa dan tidak runtuh padahal saya berhenti? + Itu karena jantungmu dan lain-lain seperti bumi dan matahari tidak berhenti dan tetap jalan terus. - Ya siapa yang suruh! . . . Bukan saya yang suruh . . . + Ee ee, anak jaman sekarang kok ngomong seenak wudel saja ya! Kalau si ujang kurang senang dengan hukum alam, sekarang juga bisa dilawan. Pertama, kamu ambil saja pestol atau belati lantas itu diarahkan dulu ke dada sebelah kiri, ya tentu saja dadamu sendiri, lalu . . . - Mamang kalau bicara jangan begitu ah . . . Saya ini tidak salah apa-apa dan merasa tidak melawan apa-apa kok dituduh melawan alam. + Dengar ini, jang. Kamu ini diadakan, dibikin ada, oleh kegiatan. Waktu kamu masih nol dan belum punya bentuk sama sekali, sudah ada kegiatan terus-menerus untuk membikin kamu. Kelahiran seluruh alam raya ini juga didahului oleh kegiatan. Nah, lantas kamu mulai punya bentuk, lalu kamu lahir, lalu membesar dan seterusnya, dan itu karena adanya kegiatan yang terus-menerus. Tidak ada yang mandek. Kamu ini diturunkan ke bumi untuk bergiat terus-menerus . . . - Waduh, badan bisa rusak dong mang! + Ee ee, jantungmu tidak rusak, padahal kembang-kempis terus-menerus! Paru-parumu bergiat terus, darahmu terus-menerus mengalir jutaan kilometer bolak-balik tanpa istirahat, tapi kok tidak rusak. Kabarnya tiap atom pada badanmu juga berpusing-pusing seperti tong setan di sirkus Tegallega, tapi tanpa tidur. - Aduh, jangan lari ke sana atuh mang! Saya ini apa tidak boleh istirahat dan tidak boleh tidur? + Silakan tidur, mau sehari, mau sebulan, tapi kamu terus saja bernafas. Jangan tanya siapa yang suruh. Dan kalau saya menyulut mercon di kolong ranjangmu, maka ada semacam ronda malam di tubuhmu yang menyuruh kamu cepat bangun. Jadi begini jang. Tidur itu hukum alam, tapi bukan hukum malas. Jangan dijungkir-balikkan jang. - Lho, tahu saja tidak, bagaimana saya bisa menjungkirbalikkannya? + Jangan pura-pura tidak tahu ya! Kamu tahu betul bahwa malas itu melawan segala macam hukum di jagat raya ini. Kalau mau malas, kamu tak usyah ya bikin kata-kata seperti shanthay dan semadi dan sebagainya. Kamu ini bikin peraturan shanthay dan tidur buat menguntungkan undang-undang permalasan, dan bukan buat undang-undang kegiatan. - Lho mamang sendiri sekarang lagi apa? Istirahat dan pidato melulu ! + Begini jang. Mamang ini mendapat tugas dari Prajapati supaya bergiat terus-menerus. Memang hukumnya begitu jang. Nah, bergiat itu bukannya cuma keliling kota dagang pisang saja. Ada kegiatan badan dan kegiatan akal dan kegiatan rohani. Mamang boleh ambil contoh Prabu Janaka dan ceuk Kartini dan kang Jimi Karteur yang sedari kecil sudah dagang kacang dan sekarang jadi raja atau apa itu . . . - Giat terus-terusan mah capek atuh mang! + Katanya kalau mengikuti hukum alam saja pasti tidak bisa capek. - Walah walah! . . . Tidak bisa capek??? + Ya betul. Seperti tong setan atom itu atau seperti Bumi yang terus-menerus berputar atau seperti jantung yang tak-tok-tak-tok terus-menerus biar si ujang lagi tidur . . . - Jadi saya ini apa musti jadi tong setan supaya tidak capek? + Tunggu dulu dong cerita saya. Ujang bakal tidak capck asalkan kegiatan ujang itu perlu, dan tidak menimbulkan tekanan hati ujang dan tidak membikin jengkel mamang dan tidak merusak alam dan sesuai dengan diri ujang. Nah, yang sesuai dengan mamang mah dagang pisang. Mau beli pisang? - Yang sesuai buat sayah mah kegiatan shanthaaay! ! + Biar maumu begitu, tapi itu bukan maunya alam. Kamu itu mau duduk-dudukan dan tidur-tiduran terus asal ada yang kerja di dapur ya? asal ada yang jualan sayuran di pasar ya? asal pengantar surat tetap mampir ke rumahmu ya? asal tiap hari dari pagi sampai malam ada yang bikin koran ya? asal tiap hari ada yang menyediakan beras ya? Bagaimana kalau mereka semua itu disuruh tiduran saja seperti kamu? - Lantas saya musti apa? + Ya itulah. Terus giat dalam menjamin keselarasan dan kemajuan alam semesta termasuk si ujang sendiri, tapi jangan melulu buat keenakan si ujang sendiri dong. - Habis, buat keenakan siapa? + Coba pikir jang. Jantung ujang itu terus berdetak apa buat keuntungan si jantung melulu? Apa si jantung itu untung? Apa dia rugi? - Apa ya . . . + Kegiatan jang. Sekali lagi kegiatan. Awas, pakai hukum alam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus