Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Moral pancasila dan ketrampilan

Untuk mengatasi pengangguran, di jawa barat dimulai cara baru: melatih para pemuda di desa masing-masing. di kabupaten indramayu diselenggarakan kursus ketrampilan keliling. (pdk)

11 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UDARA yang panas di desa Cipancuh, Kecamatan Cihaurgeulis Kabupaten Indramayu, tak menghalangi 25 orang pemuda menempa besi dan menyambung pipa besi dengan las. Mereka sedang mengikuti kursus ketrampilan yang diselenggarakan oleh Dinas Perburuhan Jawa Barat bekerja sama dengan Dewan Harian Daerah (DHD) Angkatan 45 Jawa Barat, bulan lalu. Kursus ketrampilan gagasan Safiyuddin Sastrawidjaja, Kepala Dinas Perburuhan Jawa Barat, yang kemudian disebut Latihan Ketrampilan Keliling (LKK) itu menarik. Ide semula hanyalah untuk menampung para abang becak yang terkena Peraturan Daerah Ja-Bar 12 Juni 1979 tentang penghapusan becak dalam wilayah Ja-Bar secara bertahap. "Supaya mereka punya bekal ketrampilan setelah becaknya disita," kata Safiyuddin. Tapi berdasar satu riset yang dilakukan Pemda Ja-Bar, abang becak, juga pemungut puntung rokok dan gelandangan umumnya datang dari pedesaan. Karena itu gagasan tersebut lalu berkembang kursus ketrampilan diseyogakan dilaksanakan berkeliling se-Ja-Bar, untuk mencegah urbanisasi yang menambah jumlah penganggur di kota. "Jadi, sumber penyelesaiannya sebenarnya di desa," kata Safiyuddin kepada koresponden TEMPO Hasan Syukur. "Tapi penanggulangannya harus simultan ya di desa, ya di kota," tambahnya. Ide itu kemudian dilaksanakan oleh DPRD Angkatan 45 Jawa Barat -- dengan dibantu Pemda antara lain berupa unit mobil Toyota Hi-Ace dengan perlengkapannya, tiap unit berharga Rp 5 juta. "Sekarang baru ada tiga unit mobil," kata Surya Chandranegara, Ketua Tim Pelaksana LKK yang juga menjabat Sekretaris I DHD Angkatan 45 Jawa Barat. "Dua-tiga bulan lagi kita harapkan menjadi lima." Lokasi pertama yang didatangi LKK adalah desa Cipancuh. Mengapa? "Daerah ini pernah menjadi basis perjuangan pada waktu revolusi fisik," jawab Surya. Moral Pancasila Tenaga instrukturnya diambil dari Yayasan 17 -- suatu lembaga pendidikan ketrampilan di Bandung. Sekarang baru ada dua instruktur dan 3 pembantu instruktur. Sesuai dengan namanya, pelajaran 80% berupa praktek dan 20% teori. Tiap angkatan kini baru bisa menampung 25 - 30 peserta. Lama kursus sekitar 3 minggu. Minggu pertama diberikan ceramah moral Pancasila dan mental keagamaan, lalu tentang kewiraswastaan dan demonstrasi penggunaan beberapa jenis alat-alat pertanian. Praktek dimulai pada akhir minggu pertama: mengelas, pandai besi dan kerja bangku. Ditargetkan pada akhir minggu ketiga peserta sudah mampu memhuat alat pertanian dan rumah tangga. "Ternyata dalam 12 hari saja mereka sudah mampu membuat alat-alat yang didemonstrasikan pada minggu pertama," cerita Asari Johar, salah seorang instruktur. Mula-mula sambutan pemuda putus sekolah di Cipancuh dingin-dingin saja. Pengumuman yang disebarkan bahwa akan ada LKK tak memperoleh sambutan. Atas inisiatif DHD Angkatan 45 Ja-Bar, para pengurus DHD Angkatan 45 Cipancuh diminta mendaftarkan putera-puteranya. Baru ketika mobil unit datang dan tenda-tenda sudah dipasang, banyak pemuda Cipancuh tertarik bahkan ada yang kemudian terpaksa ditolak dan dijanjikan waktu lain. LKK perdana itu ditutup 21 Juli lalu. Peserta hampir semuanya pemuda putus sekolah SD. Setelah lulus apakah masa depan mereka lebih terjamin? Paijo, 18 tahun, yang pada 1971 terpaksa keluar dari kelas 4 SD misalnya, kini bingung juga. Bukannya Paijo tak melihat kemungkinan bekerja di desanya. "Rumah-rumah di desa sekarang banyak juga yang memakai pagar besi. Tapi untuk berdiri sendiri, dari mana saya dapat modal?" keluhnya. Modal Juga Sjahdjibun, 17 tahun, yang hanya berpendidikan sampai kelas 5 SD tertegun pada masalah serupa. "Saya gembira memiliki keahlian. Tapi di mana saya harus bekerja? Mencari pekerjaan ke kota saya sudah kapok." Padahal selama LKK berlangsung, hasil kursus seperti cangkul, golok, sabit sudah dipesan orang karena harganya jauh di bawah harga toko. Cangkul misalnya hanya dilepas Rp 1.000, sementara di toko paling murah Rp 1.500. DHD Angkatan 45 Ja-Bar bukannya tak memikirkan penyaluran peserta kursus. "Kami akan membuka unit-unit usaha di tiap kecamatan," kata Surya Chandranegara. Modalnya memang untuk usaha pertama diharapkan bantuan dari Pemda Ja-Bar. Tentu saja diharapkan ada uluran dari masyarakat sendiri. Dan ternyata tawaran itu ada. Seperti Maman, 21 tahun, yang baru saja lulus Akademi Bank di Bandung. Tak ingin mencari kerja di kota, dia pulang ke Cihaurgeulis. Melihat potensi yang ada, kebetulan pula dia bermodal, kata: "Saya akan mencoba membuka usaha las dan membuat alat-alat pertanian di sini." Melihat jumlah angkatan kerja yang putus sekolah SD saja di Ja-Bar ada sekitar 2 juta, usaha DHD Angkatan 45 ini memang bagaikan setitik air di lautan luas. Namun bagaimana pun kecilnya, ini langkah awal yang baik. Untuk 1979-1980 direncanakan 700 pemuda yang akan bisa mengikuti LKK di 28 kecamatan seluruh Ja-Bar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus