UDARA yang panas di desa Cipancuh, Kecamatan Cihaurgeulis
Kabupaten Indramayu, tak menghalangi 25 orang pemuda menempa
besi dan menyambung pipa besi dengan las. Mereka sedang
mengikuti kursus ketrampilan yang diselenggarakan oleh Dinas
Perburuhan Jawa Barat bekerja sama dengan Dewan Harian Daerah
(DHD) Angkatan 45 Jawa Barat, bulan lalu.
Kursus ketrampilan gagasan Safiyuddin Sastrawidjaja, Kepala
Dinas Perburuhan Jawa Barat, yang kemudian disebut Latihan
Ketrampilan Keliling (LKK) itu menarik. Ide semula hanyalah
untuk menampung para abang becak yang terkena Peraturan Daerah
Ja-Bar 12 Juni 1979 tentang penghapusan becak dalam wilayah
Ja-Bar secara bertahap. "Supaya mereka punya bekal ketrampilan
setelah becaknya disita," kata Safiyuddin.
Tapi berdasar satu riset yang dilakukan Pemda Ja-Bar, abang
becak, juga pemungut puntung rokok dan gelandangan umumnya
datang dari pedesaan. Karena itu gagasan tersebut lalu
berkembang kursus ketrampilan diseyogakan dilaksanakan
berkeliling se-Ja-Bar, untuk mencegah urbanisasi yang menambah
jumlah penganggur di kota. "Jadi, sumber penyelesaiannya
sebenarnya di desa," kata Safiyuddin kepada koresponden TEMPO
Hasan Syukur. "Tapi penanggulangannya harus simultan ya di
desa, ya di kota," tambahnya.
Ide itu kemudian dilaksanakan oleh DPRD Angkatan 45 Jawa Barat
-- dengan dibantu Pemda antara lain berupa unit mobil Toyota
Hi-Ace dengan perlengkapannya, tiap unit berharga Rp 5 juta.
"Sekarang baru ada tiga unit mobil," kata Surya Chandranegara,
Ketua Tim Pelaksana LKK yang juga menjabat Sekretaris I DHD
Angkatan 45 Jawa Barat. "Dua-tiga bulan lagi kita harapkan
menjadi lima."
Lokasi pertama yang didatangi LKK adalah desa Cipancuh. Mengapa?
"Daerah ini pernah menjadi basis perjuangan pada waktu revolusi
fisik," jawab Surya.
Moral Pancasila
Tenaga instrukturnya diambil dari Yayasan 17 -- suatu lembaga
pendidikan ketrampilan di Bandung. Sekarang baru ada dua
instruktur dan 3 pembantu instruktur. Sesuai dengan namanya,
pelajaran 80% berupa praktek dan 20% teori. Tiap angkatan kini
baru bisa menampung 25 - 30 peserta. Lama kursus sekitar 3
minggu. Minggu pertama diberikan ceramah moral Pancasila dan
mental keagamaan, lalu tentang kewiraswastaan dan demonstrasi
penggunaan beberapa jenis alat-alat pertanian. Praktek dimulai
pada akhir minggu pertama: mengelas, pandai besi dan kerja
bangku. Ditargetkan pada akhir minggu ketiga peserta sudah mampu
memhuat alat pertanian dan rumah tangga. "Ternyata dalam 12 hari
saja mereka sudah mampu membuat alat-alat yang didemonstrasikan
pada minggu pertama," cerita Asari Johar, salah seorang
instruktur.
Mula-mula sambutan pemuda putus sekolah di Cipancuh
dingin-dingin saja. Pengumuman yang disebarkan bahwa akan ada
LKK tak memperoleh sambutan. Atas inisiatif DHD Angkatan 45
Ja-Bar, para pengurus DHD Angkatan 45 Cipancuh diminta
mendaftarkan putera-puteranya. Baru ketika mobil unit datang dan
tenda-tenda sudah dipasang, banyak pemuda Cipancuh tertarik
bahkan ada yang kemudian terpaksa ditolak dan dijanjikan waktu
lain.
LKK perdana itu ditutup 21 Juli lalu. Peserta hampir semuanya
pemuda putus sekolah SD. Setelah lulus apakah masa depan
mereka lebih terjamin? Paijo, 18 tahun, yang pada 1971 terpaksa
keluar dari kelas 4 SD misalnya, kini bingung juga. Bukannya
Paijo tak melihat kemungkinan bekerja di desanya. "Rumah-rumah
di desa sekarang banyak juga yang memakai pagar besi. Tapi untuk
berdiri sendiri, dari mana saya dapat modal?" keluhnya.
Modal
Juga Sjahdjibun, 17 tahun, yang hanya berpendidikan sampai kelas
5 SD tertegun pada masalah serupa. "Saya gembira memiliki
keahlian. Tapi di mana saya harus bekerja? Mencari pekerjaan ke
kota saya sudah kapok."
Padahal selama LKK berlangsung, hasil kursus seperti cangkul,
golok, sabit sudah dipesan orang karena harganya jauh di bawah
harga toko. Cangkul misalnya hanya dilepas Rp 1.000, sementara
di toko paling murah Rp 1.500.
DHD Angkatan 45 Ja-Bar bukannya tak memikirkan penyaluran
peserta kursus. "Kami akan membuka unit-unit usaha di tiap
kecamatan," kata Surya Chandranegara. Modalnya memang untuk
usaha pertama diharapkan bantuan dari Pemda Ja-Bar. Tentu saja
diharapkan ada uluran dari masyarakat sendiri. Dan ternyata
tawaran itu ada. Seperti Maman, 21 tahun, yang baru saja lulus
Akademi Bank di Bandung. Tak ingin mencari kerja di kota, dia
pulang ke Cihaurgeulis. Melihat potensi yang ada, kebetulan pula
dia bermodal, kata: "Saya akan mencoba membuka usaha las dan
membuat alat-alat pertanian di sini."
Melihat jumlah angkatan kerja yang putus sekolah SD saja di
Ja-Bar ada sekitar 2 juta, usaha DHD Angkatan 45 ini memang
bagaikan setitik air di lautan luas. Namun bagaimana pun
kecilnya, ini langkah awal yang baik. Untuk 1979-1980
direncanakan 700 pemuda yang akan bisa mengikuti LKK di 28
kecamatan seluruh Ja-Bar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini