Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGHENTIAN perkara dugaan korupsi yang membelit Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak sungguh melukai rasa keadilan. Padahal, selama ini, para jaksa penyidik yakin kasus pengelolaan dana divestasi saham PT Kaltim Prima Coal sebesar Rp 576 miliar, ketika dia menjadi Bupati Kutai Timur, mengandung banyak kejanggalan. Bukannya diproses di pengadilan, dia malah diberi surat penghentian penyidikan perkara oleh Jaksa Agung Basrief Arief.
Keputusan itu makin menambah panjang daftar keistimewaan buat Awang. Surat izin pemeriksaannya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diulur-ulur, sehingga kejaksaan tertunda cukup lama menyidiknya. Meski berstatus tersangka, petinggi daerah yang kaya batu bara ini enteng saja melenggang mendampingi Yudhoyono melawat ke luar negeri. Ia juga mengikuti event internasional bersama Menteri Perdagangan (waktu itu) Mari Pangestu. Sejak dinyatakan sebagai tersangka pada Juli 2010, gubernur yang diusung Partai Demokrat ini tak pernah ditahan.
Aneh jika Kejaksaan Agung menyatakan perkara ini tidak cukup bukti. Padahal Awang tak pernah dipanggil untuk diperiksa kejaksaan. Awalnya, penyidik menduga Awang telah menyelewengkan kas daerah pada 2002-2008. Hasil penjualan saham Kaltim Prima Coal tersebut, yang dibeli PT Kutai Timur Sejahtera (Grup Bakrie), bukannya disetor ke kas daerah, malah diputar melalui PT Kutai Timur Energi, milik Pemerintah Kabupaten Kutai Timur.
Hukum hanya menyentuh dua pengurus Kutai Timur Energi. Direktur utamanya, Anung Nugroho, dan Direktur Apidian TriwahÂyudi, berdasarkan putusan kasasi pada 20 November 2012, dinyatakan bersalah. Anung divonis 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider delapan bulan kurungan serta harus membayar uang pengganti Rp 800 juta. Sedangkan Apidian divonis 12 tahun penjara, didenda Rp 1 miliar subsider delapan bulan kurungan, dan harus membayar uang pengganti Rp 800 juta.
Sepatutnyalah Awang juga disidik. Apalagi kedua terpidana tadi siap menjadi saksi bahwa Awanglah yang memerintahkan uang tadi diputar. Tergiur keuntungan besar, Kutai Timur Energi lalu menyalurkan sebagian besar duit itu ke sejumlah produk investasi. Penempatan itu dinilai kejaksaan bermasalah karena tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Padahal, menurut Sidang Paripurna DPRD Kutai Timur, pertengahan September 2008, semestinya duit itu ditempatkan di Bank Kaltim, diinvestasikan ke usaha mikro, kecil, dan menengah, serta untuk membayar konsultan pajak.
Dari penelusuran, Kutai Timur Energi menanamkan duit itu ke sejumlah produk investasi berbunga tinggi. Di antaranya, US$ 53 juta diinvestasikan di Samuel Sekuritas dan US$ 7,7 juta disimpan di Bank Indonesian Finance and Investment (IFI) melalui Capital Trade Investment. Belakangan, duit di Bank IFI ini terancam amblas setelah bank milik Bambang N. Rachmadi itu dilikuidasi. Belum lagi dugaan penyimpangan lain, seperti biaya miliaran rupiah buat konsultan pajak yang ternyata abal-abal.
Tindakan ini jelas melanggar ketentuan pengelolaan keuangan daerah. Bukan mustahil ada kepentingan lain, mengingat saat itu Awang hendak maju menjadi Gubernur Kalimantan Timur. Karena itu, pengadilan merupakan sarana yang tepat dan adil untuk menguji hasil penyidikan jaksa. Di meja hijau, Awang boleh saja menyangkal dan balik menuduh bahwa otak skenario jahat ini sejatinya mantan bupati Mahyudin.
Penghentian kasus korupsi ini terlalu dini jelas membunuh niat baik, sikap adil, dan akal sehat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo