Berita tentang pemerkosaan sudah begitu deras mengalir di media. Mulai dari pelakunya yang terbukti menderita kelainan jiwa (seperti pedofilia) sampai yang sebenarnya sungguhsungguh sehat secara fisik, tapi isi benaknya yang tidak sehat karena berisi hanya sedikit kontrol terhadap birahinya. Sepuluh tahun lalu berita tentang pemerkosaan sudah membikin beridir bulu tengkuk kita. Tapi sekarang bisa membuat semua isi perut berlompatan serasa minta melihat dunia luar saking meningkatnya kuantitas dan kualitasnya sedemikian rupa. Polisi sebagai penyidik tunggal perkara menurut KUHAP kita sering salah menangani kejahatan bawah pusar ini (dengan alasan kurangnya jumlah petugas, dana, dan lainlain). Polisi juga sering bikin merah telinga kaum perempuan karena ''memaksa'' untuk menghadirkan tanda kerusakan selaput dara sebagai satusatunya bahan pemrosesan perkara. Tanpa hadirnya ''barang bukti'' itu, jangan harap kaum korban akan diperjuangkan nasibnya di pengadilan. Lebih njelimet lagi kalau si wanita diprasangkai berperan aktif dan mengaku diperkosa untuk suatu dalih tertentu. Kalau berkas perkara sudah sampai di meja bapak hakim, janganjangan ketemu pula dengan hakim yang iingahingihr (tidak tegas, mudah berubah) yang menyandarkan diri -- lagilagi -- pada masalah robektidaknya sang selaput dara pada wanita yang malang itu. Tingkah laku rudapaksa mengancam akan membunuh, menyiksa, dan lainlain rupanya belum cukup serius untuk membuka mata hati hakim akan ketidakadilan yang menimpa perempuan malang ini. Karena itu, putusan Bapak Hakim Ismail dari Sumatera Barat (TEMPO, 23 Januari 1993, iHukumr), yang menghukum berat pemerkosa karena pertimbangan yang mendasar, amat saya setujui. Apalagi pendapat Prof. Dr. Muladi, ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana, yang menyetujui dan mengategorikan pemerkosaan sebagai tindakan pelanggaran hak asasi manusia, sungguh sangat saya setuju. Pendapat ini amat perlu didukung dan ''disosialisasikan'' dengan segala macam cara. Kalau secara umum kita hampir menyerah dalam memberantas korupsi ekonomi, marilah kita tanpa jemujemu bertekad mencegah sedemikian rupa merajalelanya kaum ''koruptor penyalahguna kekuatan fisik dan hasrat badani'' ini. Kepada mereka yang pernah memerkosa, pernahkah Anda bayangkan betapa menderitanya korban Anda? Seumur hidup mereka harus menanggung beban hancurnya kepercayaan diri, hilangnya kehormatan, suramnya masa depan pendeknya, rusaknya kepribadian perempuan korban Anda? Kristal mereka telah Anda hancurkan, dapatkah dan dengan cara apakah Anda bisa mengganti sesuatu yang tak akan pernah pulih lagi ini? Saya menanti penuh harapan munculnya seribu hakim Ismail lainnya, yang dengan mata hatinya yang tajam benarbenar melihat harus ada keadilan bagi korban pemerkosaan ini. DAMONA POESPAWARDAJA Fakultas Psikologi UI Kampus Depok Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini