Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Niat baik Wali Kota Padang, H. Fauzi Bahar, tidak ada yang meragukan. Ia gelisah dengan banyaknya tawuran antarpelajar. Apalagi togel (toto gelap) dan perbuatan maksiat banyak terjadi di kotanya belakangan ini. Lantas, niat baik itu dituangkan dengan mewajibkan siswa wanita di SMP dan SMU, termasuk yang sederajat seperti SMK, mengenakan busana baju kurung plus kerudung yang menutup seluruh rambut. Sedangkan siswa pria diwajibkan memakai celana panjang.
Yang kebablasan adalah kewajiban itu dipaksakan juga kepada sekolah-sekolah yang bernapaskan agama non-Islam, termasuk sekolah swasta umum seperti milik PGRI. Lagi pula kerudung yang dimaksudkan dalam surat edaran resmi itu dalam prakteknya adalah jilbab. Ini meresahkan siswa yang beragama Katolik dan Kristen, karena ada yang dikeluarkan dari sekolah ketika tidak memakai kerudung.
Apa pun alasannya, baik soal agama maupun menjunjung tinggi adat Minangkabau, pemaksaan seperti itu sangat disayangkan. Indonesia adalah negeri yang dihuni penduduk beragam, baik suku maupun agamanya. Seharusnya tidak ada pemaksaan kaum mayoritas kepada kaum minoritas. Dan Padang adalah bagian dari Indonesia, tentu harus mengacu pula pada dasar negara ini yang dilambangkan dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika.
Ketentuan wajib oleh Wali Kota yang dikenakan pada sekolah swasta, apalagi yang punya ciri khas agama tertentu, sudah merupakan intervensi. Biarkan sekolah-sekolah itu melaksanakan ketentuan yang berlaku di sekolahnya, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pendidikan Nasional. Orang tua murid, ketika memasukkan anaknya ke sekolah, tentu sudah mempertimbangkan semua risiko yang ada.
Wali Kota Padang sebaiknya melihat ke luar daerah dan mempelajari apa yang terjadi di daerah lain. Orang Padang gemar merantau. Banyak orang Minang di daerah lain, misalnya di Bali, Manado, dan di kota-kota besar lainnya. Kalau anak-anak Minang di Bali, misalnya, ketika datang ke sekolah dipaksa mengenakan pakaian adat Bali atau pakaian yang digunakan umat Hindu bersembahyang, apa yang terjadi? Apalagi kalau, misalnya, daerah-daerah lain memaksakan pula pakaian adatnya kepada setiap pelajar dengan alasan menjunjung tinggi adat setempat. Nanti akan ada anak orang Minang, yang ayahnya bekerja di Papua, ke sekolah mengenakan koteka. Sungguh kita akan menyesal jika "semangat kesukuan" ini kembali dihidupkan untuk hal-hal yang tidak relevan, seperti yang diberlakukan dalam dunia pendidikan. Para anak didik akan melihat Indonesia ini begitu sempit, bukan lagi melihat indahnya keberagaman adat budaya penduduk Indonesia yang menghuni ribuan pulau.
Biarkanlah masalah pakaian seragam di sekolah diatur oleh sekolah yang bersangkutan dengan berpedoman pada aturan yang lebih tinggi, yakni Departemen Pendidikan Nasional. Departemen ini sudah menetapkan warna dan bentuk pakaian sekolah di SD, SMP, dan SMU. Soal warna sudah disepakati untuk tetap konsisten. Adapun bentuknya disesuaikan dengan ciri sekolah itu atau keyakinan si anak didik. Sehingga, siswa wanita pada sekolah yang bernapaskan Islam atau anak didik yang beragama Islam bisa mengenakan jilbab dan rok panjang.
Wali Kota Padang sebaiknya mencari cara lain untuk mencegah tawuran pelajar dan kemaksiatan, bukan dengan membuat aturan yang meresahkan dan menjadi bibit perpecahan untuk masyarakat Indonesia yang majemuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo