Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah perlu meninjau ulang program wisata halal yang dikembangkan lima tahun terakhir. Polemik yang bermunculan di sejumlah daerah dalam menyikapi label “destinasi halal” menunjukkan ada yang keliru dalam kampanye menarik minat wisatawan muslim dunia ke Indonesia. Gegabah menggeber program ini justru bisa memantik persoalan di kemudian hari.
Terminologi wisata halal disadur mentah-mentah dari halal tourism, genre baru pariwisata yang sedekade terakhir berkembang di sejumlah negara untuk membidik besarnya pasar wisatawan muslim internasional. Laporan Global Travel Muslim Index (GMTI) 2019 yang dirilis Mastercard-CrescentRating memperkirakan jumlahnya mencapai 140 juta orang pada tahun lalu, melonjak 42 persen dalam delapan tahun terakhir. Angka tersebut diproyeksikan terus bertambah hingga melampaui 230 juta orang dengan total belanja sebesar US$ 300 miliar—kini senilai Rp 4.300 triliun—dalam sewindu ke depan.
Konsep yang ditawarkan sederhana, yakni memastikan pe-ngunjung muslim tetap dapat memenuhi kewajibannya sebagai umat Islam selama berlibur. Makanan halal, air bersih, dan tempat beribadah menjadi kebutuhan dasar yang harus tersedia.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yang memiliki lebih dari 800 ribu masjid di penjuru daerah, Indonesia berpotensi memperbesar jumlah kunjungan pelancong muslim dunia, yang tahun lalu hanya 3,5 juta orang. Apalagi laporan terbaru GMTI juga menempatkan Indonesia di peringkat pertama destinasi halal dunia—naik satu peringkat dibanding 2018—bersama Malaysia.
Namun, sebagai gimik pemasaran, upaya menarik wisatawan muslim sebenarnya jauh dari terminologi “wisata halal”, yang bisa salah kaprah diartikan bahwa ada “wisata haram” sebagai kebalikannya. Pemerintah perlu mengkaji ulang nama program ini agar tak menimbulkan kebingungan. Sejumlah negara memilih istilah “muslim friendly”, ramah terhadap turis muslim. Adapun Malaysia menawarkan “islamic tourism”.
Upaya menarik wisatawan muslim dunia tak perlu memaksakan merek dagang baru ke semua daerah tujuan wisata yang selama ini telah tumbuh dengan kearifan budaya setempat. Konsep wisata halal—apa pun namanya—semestinya bukan disematkan ke daerah tujuan turis seperti kini dilakukan pemerintah dengan menetapkan 10 Destinasi Halal Prioritas Nasional. Pelabelan semacam ini telah memicu polemik. Sejumlah tokoh masyarakat di Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara, misalnya, menyatakan menolak ide pengembangan wisata halal yang digulirkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, salah satu destinasi halal prioritas.
Rambu-rambu dalam mengembangkan destinasi ramah turis muslim juga harus dipertegas. Rencana memperkaya ketersediaan makanan bersertifikat halal di destinasi prioritas, misalnya, berisiko memicu pemaksaan hingga pungutan liar kepada pelaku usaha jika tak diatur dengan jelas. Lalu apa juga jaminan bahwa penetapan wisata halal tak akan memicu intimidasi dan tindakan kekerasan terhadap penyedia produk nonhalal?
Pemerintah semestinya berfokus mengembangkan industri dan infrastruktur pendukung pariwisata. Bagaimanapun, sektor ini merupakan tumpuan untuk mendongkrak devisa negara yang tengah kembang-kempis akibat lesunya perdagangan global. Tugas ini tak mudah. Data menunjukkan, empat tahun terakhir, kunjungan wisatawan mancanegara ke negeri ini hanya tumbuh rata-rata 14 persen setiap tahun. Sepanjang 2018, jumlahnya mencapai 15,8 juta turis. Diperlukan pertumbuhan sebesar 26 persen untuk mencapai target 20 juta wisatawan mancanegara pada tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo